SELAMAT DATANG DI LTN NU (Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama) KABUPATEN PRINGSEWU

Jumat, 09 November 2012

SUDAH MAMPUKAH KITA BERHAJI ?


Oleh: KH. Drs. Mahfudz Ali ( Ketua PCNU Pringsewu)

" mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah”

Begitulah bunyi sepenggal ayat ayat suci Al-Quran surat Al-Imran : 97 yang sering diangkat dalam ceramah-ceramah keagamaan di bulan-bulan mendekati pelaksanaan haji. Ayat tersebut menjadi rujukan dan sebagai dasar atas diwajibkannya perintah Allah kepada umat Islam untuk melaksanakan kewajiban ibadah haji ke Baitullah.

    Ada pertanyaan umum yang sering diungkap oleh umat Islam tentang makna lafadz "istatha'a". dan lafadz inipun telah banyak diuraikan/ dijelaskan oleh para mufassir. Dari aspek pendekatan fiqhiyah Kemampuan seseorang dari segi biaya harus mencukupi, ilmu tentang haji yang memadahi, tenaga/ fisik yang prima, keadaan aman dalam menempuh perjalanan dari segala gangguan (situasi yang memungkinkan), ternyata menjadi bagian syarat yang harus dipenuhi.
    Dalam realitas kehidupan, ternyata tetap beragam orang memahami dan mendalami makna istatha'a, sehingga beragam pula sikap dan aplikasinya dalam kehidupan. Terlepas dari itu semua, ada satu pertanyaan yang cukup menggelitik bagi kita, ditengah ratusan ribu bahkan jutaan umat Islam khususnya di Indonesia yang telah ikut antrian mendaftar dan mungkin juga telah terdaftar sebagai calon jamaah haji untuk dapat berangkat ke tanah suci Makkah. Ada yang mendaftar haji karena malu dengan temannya yang sudah berhaji, ada yang semua bekal sudah terpenuhi namun biaya/ dana yang dimiliki sangat terbatas, ada yang khawatir karena umur sudah uzur sementara biaya sudah ada namun terkendala karena harus antrian hampir puluhan tahun menanti, ada pula yang mengambil jalan melalui dana talangan haji dengan prediksi pada saatnya biaya dapat tercukupi. Pertanyaan itu adalah sudah "mampu"-kah kita berhaji ?
    Apabila para pembaca yang budiman termasuk bagian orang yang telah melaksanakan ibadah haji atau orang yang pada tahun ini dapat ikut berangkat haji ke tanah suci Makkah al-mukarramah, maka anda (pembaca yang budiman) termasuk menjadi bagian orang yang beruntung dan patut bersyukur kepada Allah. Karena masih ada jutaan umat Islam yang sangat mendambakan untuk dapat beribadah haji ke Baitullah, namun belum juga dapat terkabul keinginannya. Bisa jadi karena merasa ilmu tentang haji belum dimiliki, merasa bekal belum tercukupi, merasa fisik mulai melemah karena usia yang sudah mulai senja, atau karena memang harus menanti jatah waktu keberangkatan akibat semakin bertambahnya jumlah umat Islam sedunia yang ingin berhaji namun kapasitas tempat yang terbatas. Setiap muslim "pasti" rindu untuk dapat ziarah ke Makkah dan Madinah, meskipun ia sudah pernah pergi kesana. Kerinduan semacam itu sekaligus menjadi motivasi atau dorongan yang amat kuat untuk dapat menyempurnakan rukun Islamnya yang kelima, sehingga dapat menyempurnakan ke-Islaman dirinya sebagai pengikut umat nabi Muhammad SAW.
    Ibadah haji selain merupakan ibadah yang menjadi penyempurna rukun Islam, juga merupakan perjalanan ibadah keruhanian. Sebuah perjalanan manusia kembali lagi ke fitrah kemanusiaannya. Setelah bergelimang dengan kehidupan sehari-hari, manusia kembali terjatuh pada derajatnya yang rendah ketika ia selalu memperturutkan keinginan hawa nafsunya. Perjalanan ibadah haji menjadi simbol kembali menuju fitrahnya, manakala dalam perjalanannya mereka harus meletakkan segala atribut kebendaan, atribut kekayaan dan atribut kebesaran serta kekuasaan seseorang. Kehadiran mereka di tanah suci Makkah ada pada kondisi yang sama diantara sekian juta umat Islam lainnya. Ibadah haji juga ibadah yang hanya dialami dan hanya dirasakan oleh mereka yang berangkat ke tanah suci Makkah. Bagi orang yang hanya berbicara tentang haji namun belum pernah berangkat haji, tentu akan berbeda rasa dan nuansa yang menyertai. Ada pengalaman yang berbeda-beda yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, sehingga hampir setiap orang yang telah kembali ke kampung halamannya ketika ditanya tentang pengalaman ibadah hajinya, hampir bisa dipastikan mereka menjawab masih ada keinginan untuk kembali lagi melakukan haji pada tahun-tahun yang akan datang. Artinya ibadah haji itu mempunyai nuansa "nilai isoteris" yang berbeda bila dibandingkan dengan ibadah-ibadah mahdhah lainnya.
Bagi sebagian orang mengatakan bahwa ibadah haji merupakan ibadah yang berat dibandingkan ibadah lain yang ada di dalam rukun Islam. Karena ibadah haji merupakan gabungan ibadah yang bersifat badaniyah (jasmani/ fisik), maliyah (biaya/ harta) dan ruhiyah (jiwa/mental). Sementara shalat dan puasa adalah ibadah badaniyah dan zakat adalah ibadah maliyah saja. Bila ini benar, maka logikanya adalah bagi orang yang telah berangkat/ atau sedang melaksanakan ibadah haji, mereka itu lebih dapat dan lebih sanggup untuk melaksanakan shalat, zakat, puasa, dan ibadah-ibadah ringan lainnya dengan baik.
    Ada makna simbolik yang dapat ditangkap dari ibadah haji, yaitu berkumpulnya umat Islam sedunia di Makkah. Di sana berkumpul berbagai suku, berbagai bangsa, berbagai ras dan warna kulit, tentu mereka membawa pula beraneka ragam perbedaan, membawa beragam kebiasaan, dan mungkin pula mereka membawa perbedaan-perbedaan pemahaman di dalam "kaifiat/ cara/ amaliah" pelaksanaan haji. Namun ditengah-tengah perbedaan itu ada satu titik temu yaitu bahwa perjalanan mereka berkumpul di kota suci Makkah dalam rangka menuju satu tujuan yaitu perjalanan menuju Allah swt. Mereka berharap bahwa ibadah yang dilakukan selama di tanah haram tersebut, tidak satupun yang ingin ibadahnya tidak diterima Allah swt. Hanya ridha Allah yang pasti mereka harapkan.
    Hikmah yang ada didalamnya adalah persatuan dan kesatuan umat Islam sedunia dengan simbol ibadah haji merupakan kesatuan universal yang sudah semestinya terwujud dalam bingkai keislaman. Menguatkan kesamaan dengan memperkecil dan menghargai perbedaan dalam Furu'iyah tanpa harus menghilangkan persatuan diantara sesame muslim (ukhuwah Islamiyah).
    Setelah pulang sampai ke tanah air masing-masing, tidak menutup kemungkinan tentang apa yang telah mereka lihat, beraneka ragam perbedaan yang terjadi, dan melihat pula kenyataan yang dialami selama berhaji, mereka menjadi terpengaruh. Ada yang kemudian mengambil faham-faham baru yang diperoleh, lalu dengan mudahnya kemudian menyalahkan faham saudaranya sesama muslim dengan alasan di Makkah itu begini dan begini. Ada pula yang kemudian menjadi bingung mengapa di tanah suci ada yang melakukan ini dan itu, kok banyak corak ragam orang melakukan ibadah dengan tata cara yang berbeda dari apa yang pernah dilakukan selama di tanah airnya, sementara mereka itu beragama "Islam" semua. Ada pula yang dengan penuh kearifan ikut menjelaskan bahwa perbedaan itu terjadi pada persoalan furu'iyah saja. Jadi ndak perlu terpengaruh dan ndak perlu mengubah pemahaman yang pernah diyakini benar untuk diamalkan. Dan mungkin masih banyak lagi hal senada yang belum dapat terungkap.
    Cukup panjang persiapan yang harus dilakukan, cukup lama waktu yang digunakan, dan cukup banyak tenaga dan pikiran yang tersita dalam persiapan untuk melakukan satu perjalanan ibadah haji ke tanah suci. Harapan menyandang predikat haji mabrur tentu ingin digapai oleh setiap jamaah haji. Apa dan bagaimanakah haji mabrur itu ?
    Haji yang mabrur adalah ibadah haji yang diterima oleh Allah. Imam Nawawi (w.676H) mengatakan haji mabrur itu haji yang tidak bercampur dengan dosa sedikitpun. Oleh karena itu disamping manasik hajinya harus dilaksanakan dengan sempurna sesuai tuntunan Nabi Muhamad saw, juga untuk menggapai kemabruran haji juga perlu memperhatikan etika haji, antara lain :
    Pertama, harta yang digunakan untuk ongkos naik hajinya (ONH) haruslah halal, diperoleh dengan usaha dan cara memperoleh yang halal pula. Andaikan seseorang berangkat haji mendapat biaya dari orang lain, misalnya hadiah atau fasilitas lain, maka disyaratkan pihak lain yang memberikan biaya itu benar-benar ikhlash, rela dan bukan karena terpaksa ataupun dipaksa sehingga kemampuan (istitha'ah) orang yang memberi juga benar-benar halal dan tidak bercampur dosa.
    Kedua, motivasi (niat) dalam menjalankan haji hanyalah karena Allah dan mengharap ridha Allah, ikhlash karena-Nya dan bukan karena tujuan yang lain seperti ingin mendapat gelar haji atau karena keinginan lainnya. Agar keikhlasan itu dapat terbangun dengan baik, maka perlu memperhatikan dua hal, yaitu: orang yang berhaji itu tidak terpaksa dan tidak dipaksa. Kedua, orang yang berhaji perlu memahami dan menghayati makna dan pesan moral yang terkandung dalam manasik haji. Ini dapat diperoleh melalui bimbingan pada saat sebelum berangkat haji.
    Ketiga, Menjaga etika haji pada saat pelaksanaan ibadah haji di tanah suci. Selama di tanah suci tidak boleh melakukan perbuatan tercela secara agama, tidak boleh berbuat yang menodai kesucian tanah haram apapun bentuknya. Tidak boleh melakukan rafast (berkata-kata yang tidak baik/ kotor), fusuq (melakukan perbuatan maksiat), dan jidal (berdebat, bertengkar, ataupun berbantah-bantahan). Yang itu semua juga tetap tidak boleh dilakukan setelah mereka usai berhaji.
    Para pembaca yang budiman, melaksanakan ibadah haji memang menjadi kewajiban hanya bagi orang yang mampu. Terutama kemampuan dari segi biaya. Sehingga tidak sedikit di lingkungan masyarakat ada orang yang telah mempersiapkan ilmu yang cukup, umur yang mendukung kondisi fisik/ tenaga, perjalanan juga cukup aman, namun terkendala biaya yang  belum memadahi. Tiga atau empat tahun terakhir ini semarak di masyarakat kita bahwa pembiayaan haji ada yang mau ikut membantu meringankannya dalam bentuk bantuan talangan pembiayan ibadah haji. Mereka yang mengambil program "talangan haji" tetap harus mengembalikan sesuai dengan kesepakatan perjanjian. Meskipun demikian, belum jaminan seseorang mendaftar haji dengan mengambil dana talangan ia sebenarnya termasuk kategori "istitha'ah" atau mempunyai kemampuan. Karena ternyata ada orang yang telah mengambil talangan begitu sampai pada saatnya pelunasan mereka belum mampu untuk melunasinya.
    Adanya dana talangan haji justru memperpanjang antrian orang yang akan menunaikan ibadah haji, sementara ada orang yang tiba-tiba memperoleh rejeki yang banyak dan mampu untuk membayar lunas biaya haji pada saat itu juga, ternyata menjadi terhalang oleh antrian panjang tersebut. Padahal bagi orang itu justru telah jatuh kewajiban untuk berhaji.
    Ada yang beanggapan bahwa Dana talangan haji disinyalir hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, terkait dengan kepentingan bisnis dan ekonomi tertentu. Terbukti semakin banyak bank - bank yang menyelenggarakan program dana talangan haji kepada masyarakat. Tentu saja dugaan semacam ini masih perlu dikaji lebih lanjut.
    Kembali kepada apakah kita termasuk bagian orang yang telah "mampu" berhaji atau belum ? Jawaban itu kembali kepada diri kita masing-masing. Karena hakikinya yang tahu kemampuan seseorang hanyalah Allah SWT dan dirinya sendiri. Jangan-jangan sebenarnya kita belum termasuk golongan orang yang mampu berhaji melainkan baru menjadi golongan orang-orang yang terpaksa berhaji atau memaksakan diri untuk berhaji.
    Semoga semua jamaah haji Indonesia, khususnya jamaah haji Kab. Pringsewu termasuk mereka yang mampu berhaji, sehingga dapat memperoleh haji yang mabrur dan mampu pula mempertahankan kemabruran hajinya dengan semakin menambah kebaikan-kebaikan atau kesalehan-kesalehannya, baik kesalehan ritualnya (ibadah) maupun kesalehan sosialnya (bermuamalah/ berinteraksi sosial) setelah mereka kembali ke kampung halaman masing-masing. Semoga pula kemabruran ibadah hajinya dapat dipertahankan hingga akhir hayat, amin.
Wallahu a'lam bi al-shawwab.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar