SELAMAT DATANG DI LTN NU (Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama) KABUPATEN PRINGSEWU

Jumat, 09 November 2012

Siapa AKU ?



 Oleh: H. Taufik Qurohim 
Wakil Ketua PC.NU Pringsewu

Jika ditanya, siapa AKU? Jawabannya mungkin akan sebanyak pertanyaan itu diucapkan. Tapi jika diperjelas lagi, siapa kita ini dalam hubungannya dengan alam semesta. Agar menghasilkan jawaban yang baik, kita perlu mempertimbangkan dua sisi, persamaan dan perbedaan kita dengan alam semesta.


Pada sisi yang pertama, ada banyak aspek yang menyamakan kita dengan alam semesta. Tubuh kita memiliki unsur-unsur alam semesta. Misalnya, sekitar 75 persen tubuh kita adalah air. Sementara air ialah satu dari sekian unsur utama pembentuk kehidupan di alam ini. Bahkan keseluruhan tubuh kita setelah mati kelak akan melebur menjadi tanah, wujud asalnya. Saking meleburnya dengan alam semesta, tubuh kita pun menjadi “alam” kehidupan bagi organisme-organisme lain seperti kutu rambut, bakteri dan virus. Kita sendiri adalah satu dari sekian organisme yang hidup dalam “tubuh” alam semesta ini.

Fakta dikotomis antara yang diciptakan (mahlûq) dan yang mencipta (khâliq) ini menjadi pesan, bahwa hakekatnya kita manusia berada pada satu level dengan hewan, tumbuhan, air, dan entitas-entitas lain di alam raya ini: level mahluk. Dari sekian mahluk yang ada, kita manusia memang menempati posisi teratas sebagai ciptaan terbaik Tuhan (Q.S. at-Tîn:4). Manusia ditunjuk Allah sebagai wakil dengan tugas kepemimpinan di antara para mahluk lain (Q.S. al-An’am:165). Namun ini tidak menjadi alasan bagi kita untuk bersikap angkuh, berbangga diri dan sombong. Sebab diri kita, seluruh potensi yang dimiliki, seluruh kekuasaan yang diraih, tak lebih sekedar pemberian (pinjaman) Allah. Yang semuanya bisa kapan saja diambil oleh Sang Pemilik. Yang semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. Maka dalam Islam, semua sikap dan tindakan yang bersumber dari kebanggaan, keangkuhan, kesombongan pribadi dikategorikan sebagai terlaknat/dosa. Allah memperingatkan hal ini dalam sebuah hadits qudsi yang kira-kira artinya, “Arogansi adalah baju kebesaran-Ku, dan kebanggan diri adalah selendang-Ku. Maka siapapun manusia yang menandingiku dengan salah satu dari keduanya, Aku akan melemparnya ke dalam neraka!”.

Pertanyaan siapa aku ini mungkin sudah pernah terbesit di benak setiap orang. Dan tentunya sudah pula ditemukan jawabannya . Tapi sudahkah ini terpancar dalam setiap gerak lahir dan batin kita sehari-hari? Sementara kita mengakui posisi sejajar kita dengan hewan, tumbuhan dan benda-benda lain di alam ini, kita masih memposisikan diri sebagai superior sehingga sekehendaknya saja memperlakukan mereka. Pengrusakan alam kian merajalela. Sementara kita memanfaatkan mereka demi kelangsungan hidup, tidak ada upaya sungguh-sungguh kita untuk merawat dan menjaga kelanggengan mereka.

Kesewenang-wenangan manusia atas alam semesta nampak subur di mana-mana. Terlepas siapa pelakunya, yang jelas mereka adalah dari organisme bernama manusia. Bukankah ini adalah sebuah ekspresi dari kesombongan dan keangkuhan? Dengan segala potensi unggul yang dimilikinya, manusia berbuat sekehendaknya terhadap alam semesta yang ‘lemah’.

Tidak berhenti di situ, manusia pun kemudian membidikkan keangkuhan-kesombongannya pada sesamanya. Motif apa selain kesombongan-keangkuhan ketika seseorang dengan keunggulan fisik, harta, ilmu, jabatan dan popularitas berbuat sekehendaknya kepada orang lain yang lebih lemah dalam hal-hal tersebut. Berapa juta manusia Indonesia dililit kemiskinan, kelaparan dan kebodohan akibat ketidakpedulian segelintir manusia Indonesia lainnya. Sebagai contoh kecil: Seberapa banyak karena kesombongan akan harta membuat orang lain menderita, dengan mendirikan Mall sebesar-besarnya, pasar modern (swalayan) yang sudah merambah sampai di pelosok negeri sehingga warung-warung disekitar di paksa surut dan lambat laun gulung tikar.
Motif apa selain kesombongan-keangkuhan ketika seorang beragama merasa dirinya paling  benar mutlak sehingga dengan seenaknya menuduh amaliyah orang lain salah, mengklaim sesat,bid’ah, kafir dan klaim-klaim lain yang merendahkan kepada orang lain yang berbeda amal dengan dirinya; pokoknya dalam otaknya sudah ter doktrin ”mereka gak ada benernya,  yang paling benar, yang paling adil, yang paling diterima amalnya adalah golongan ku, yang tidak sama sesat dan menyesatkan”.

Masih banyak lagi tindakan-tindakan yang disadari atau tidak, diakui atau tidak, pada hampir semua lini kehidupan, merupakan kamuflase dari kesombongan-keangkuhan sosok manusia. Sebuah sikap yang mengingkari fitrahnya sebagai mahluk yang kurang, relatif dan fana baik wujud maupun esensinya, baik sosok maupun kualitasnya.
Atas dasar apa sikap sombong-angkuhnya dibangun?

Islam diturunkan Allah guna mengajarkan prinsip-prinsip moral. Moral bukan hanya dalam kaitannya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam semesta dan organisme-organisme lain di dalamnya, serta dengan Dia Sang Pencipta. Kesombongan-keangkuhan oleh karenanya adalah sikap yang sangat tidak bermoral dalam perspektif bahwa manusia adalah bagian sangat kecil dari alam semesta, dan bahwa manusia adalah mahluk, bukan Tuhan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar