Oleh : Drs. Mahmuddin
Kabid Keagamaan TRS Kabupaten Pringsewu Adalah seorang sahabat nabi bertanya kepada Rasuluullah Saw : " Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, tunjukkan kepadaku satu perbuatan yang jika kulakukan Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku!" Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Bersikap zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu dan bersikap zuhudlah terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, niscaya manusia mencintaimu." (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Albani)
Ada yang menarik untuk dikaji dari sikap zuhud nya para
sahabat. Misalnya, kezuhudan Abu Dzar Al-Ghifari. Dari Abu Syu'bah diriwayatkan
bahwa ada seorang lelaki yang datang menemui Abu Dzar dan menawarkan bantuan
dana kepadanya. Abu Dzar berkata, "Kami sudah memiliki kambing yang dapat
kami peras susunya, binatang kendaraaan yang dapat kami kendarai, bahkan juga
budak yang melayani kami, ditambah lagi pakaian yang dapat kami kenakan. Aku
khawatir, bila aku akan dihisab karena kelebihan harta."
Beliau juga
pernah menolak seseorang yang mengirimkan tiga ratus dinar ketika Abu Dzar
memiliki kebutuhan mendesak. Beliau juga pernah menolak menambah jumlah makanan
sehari-harinya lebih dari yang pernah dia miliki di masa hidup Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hal ini dikarenakan beliau takut kalau hal itu
merupakan salah satu pintu ketergantungan dengan dunia dan gemerlapannya.
Abu Dzar
sering menolak harta pemberian orang. Menurut beliau, meskipun beliau sudah
menunaikan hak Allah, mencarinya melalui jalan yang halal, membelanjakan juga
dalam ketaatan, namun harta itu bisa saja menangguhkan dirinya masuk ke dalam
Surga di hari kiamat nanti, meski hanya sekejap. Pemilik dua dirham lebih besar
hisabnya di hari kiamat ketimbang pemilik satu dirham.
Kesahajaan
Abu Dzar juga dapat kita jadikan pelajaran, seringkali beliau tidur dalam
keadaan lapar yang melilit, dikarenakan untuk membuat kenyang tetangga dan
tamu-tamunya. Suatu ketika Abu Dzar memerah susu kambingnya dan kemudian beliau
berikan kepada para tetangga dan tamu-tamunya sebelum untuk dirinya. Beliau
hanya meninggalkan satu perasan saja untuk beliau. Beliau juga memberikan
kurma, meskipun jumlahnya sedikit. Beliau malah meminta maaf dan mengatakan
bahwa kalau beliau memiliki yang lebih baik dari ini, tentu akan diberikannya.
Pada malam itu, beliau tidak makan apa-apa, diberikan semuanya kepada para tamu
dan tetangga.
Suatu
ketika, Muawiyah mengirim seseorang kepada Abu Dzar dengan membawa seribu
dinar. Pada hari itu juga, uang itu dibagi-bagikan oleh Abu Dzar. Hari
berikutnya, Muawiyah mengutus orang yang sama, utusan itu mengatakan,
"Sesungguhnya Muawiyah hendak mengutusku kepada orang lain, bukan kepadamu,
tetapi aku salah alamat. Tolong kembalikan uang emas itu." Abu Dzar
menjawab, "Celaka Engkau, harta itu telah habis kubagi-bagikan. Tetapi
kalau aku punya harta nanti, akan aku buat perhitungannya.
Ada
pelajaran menarik dari kisah di atas, bahwa kezuhudan Abu Dzar bukanlah berasal
dari ketidakmampuan atau secara kebetulan. Beliau sering ditawari harta namun
menolaknya. Bahkan beliau pernah ditawari
kedudukan, tapi menolaknya. Ya, kezuhudan beliau merupakan suatu pilihan,
bukan karena keterpaksaan!!!
Hal ini
menjadikan kita berpikir, bahwa kita mesti mengoptimalkan semua potensi yang
ada, agar kita memiliki kebebasan finansial, dalam artian, kita memiliki banyak
pilihan, bahwa kita memiliki kebebasan untuk bekerja atau tidak bekerja, punya
pilihan bekerja dengan siapa, membeli keperluan hidup tanpa khawatir soal
harga, ke dokter manapun yang kita inginkan tanpa khawatir biaya, memiliki
kebebasan untuk beribadah dan melakukan amal shalih tanpa takut dengan uang
yang mesti kita keluarkan (misalnya ibadah haji, membangun masjid, dsb.) dan
yang penting juga kita memiliki kebebasan untuk menginfakkan harta kita di
jalan Allah, untuk ikut ambil bagian dalam usaha iqamatuddin.
Ya Allah,
Aku berlindung kepada-Mu dari rasa malas, atau bekerja tidak dengan gigih,
kemudian membawa istilah zuhud sebagai pembenaran, sebagai satpam dan pagar
kemalasanku. Amin.
Lalu,
bagaimana dengan zuhud kita? Zuhud keterpaksaan, kebetulan, atau karena sebuah
pilihan? Mari kita introspeksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar