SELAMAT DATANG DI LTN NU (Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama) KABUPATEN PRINGSEWU

Jumat, 23 November 2012

Sudah kah Kita Zuhud ?




                        
Oleh : Drs. Mahmuddin
                                              Kabid Keagamaan TRS Kabupaten Pringsewu       
   
     Adalah seorang sahabat nabi bertanya kepada Rasuluullah Saw : " Wahai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, tunjukkan kepadaku satu perbuatan yang jika kulakukan Allah mencintaiku dan manusia juga mencintaiku!" Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Bersikap zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu dan bersikap zuhudlah terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, niscaya manusia mencintaimu." (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Albani)



Ada yang menarik untuk dikaji dari sikap zuhud nya para sahabat. Misalnya, kezuhudan Abu Dzar Al-Ghifari. Dari Abu Syu'bah diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki yang datang menemui Abu Dzar dan menawarkan bantuan dana kepadanya. Abu Dzar berkata, "Kami sudah memiliki kambing yang dapat kami peras susunya, binatang kendaraaan yang dapat kami kendarai, bahkan juga budak yang melayani kami, ditambah lagi pakaian yang dapat kami kenakan. Aku khawatir, bila aku akan dihisab karena kelebihan harta."

            Beliau juga pernah menolak seseorang yang mengirimkan tiga ratus dinar ketika Abu Dzar memiliki kebutuhan mendesak. Beliau juga pernah menolak menambah jumlah makanan sehari-harinya lebih dari yang pernah dia miliki di masa hidup Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hal ini dikarenakan beliau takut kalau hal itu merupakan salah satu pintu ketergantungan dengan dunia dan gemerlapannya.
            Abu Dzar sering menolak harta pemberian orang. Menurut beliau, meskipun beliau sudah menunaikan hak Allah, mencarinya melalui jalan yang halal, membelanjakan juga dalam ketaatan, namun harta itu bisa saja menangguhkan dirinya masuk ke dalam Surga di hari kiamat nanti, meski hanya sekejap. Pemilik dua dirham lebih besar hisabnya di hari kiamat ketimbang pemilik satu dirham.
            Kesahajaan Abu Dzar juga dapat kita jadikan pelajaran, seringkali beliau tidur dalam keadaan lapar yang melilit, dikarenakan untuk membuat kenyang tetangga dan tamu-tamunya. Suatu ketika Abu Dzar memerah susu kambingnya dan kemudian beliau berikan kepada para tetangga dan tamu-tamunya sebelum untuk dirinya. Beliau hanya meninggalkan satu perasan saja untuk beliau. Beliau juga memberikan kurma, meskipun jumlahnya sedikit. Beliau malah meminta maaf dan mengatakan bahwa kalau beliau memiliki yang lebih baik dari ini, tentu akan diberikannya. Pada malam itu, beliau tidak makan apa-apa, diberikan semuanya kepada para tamu dan tetangga.
            Suatu ketika, Muawiyah mengirim seseorang kepada Abu Dzar dengan membawa seribu dinar. Pada hari itu juga, uang itu dibagi-bagikan oleh Abu Dzar. Hari berikutnya, Muawiyah mengutus orang yang sama, utusan itu mengatakan, "Sesungguhnya Muawiyah hendak mengutusku kepada orang lain, bukan kepadamu, tetapi aku salah alamat. Tolong kembalikan uang emas itu." Abu Dzar menjawab, "Celaka Engkau, harta itu telah habis kubagi-bagikan. Tetapi kalau aku punya harta nanti, akan aku buat perhitungannya.
            Ada pelajaran menarik dari kisah di atas, bahwa kezuhudan Abu Dzar bukanlah berasal dari ketidakmampuan atau secara kebetulan. Beliau sering ditawari harta namun menolaknya. Bahkan beliau pernah ditawari  kedudukan, tapi menolaknya. Ya, kezuhudan beliau merupakan suatu pilihan, bukan karena keterpaksaan!!!
            Hal ini menjadikan kita berpikir, bahwa kita mesti mengoptimalkan semua potensi yang ada, agar kita memiliki kebebasan finansial, dalam artian, kita memiliki banyak pilihan, bahwa kita memiliki kebebasan untuk bekerja atau tidak bekerja, punya pilihan bekerja dengan siapa, membeli keperluan hidup tanpa khawatir soal harga, ke dokter manapun yang kita inginkan tanpa khawatir biaya, memiliki kebebasan untuk beribadah dan melakukan amal shalih tanpa takut dengan uang yang mesti kita keluarkan (misalnya ibadah haji, membangun masjid, dsb.) dan yang penting juga kita memiliki kebebasan untuk menginfakkan harta kita di jalan Allah, untuk ikut ambil bagian dalam usaha iqamatuddin.
            Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari rasa malas, atau bekerja tidak dengan gigih, kemudian membawa istilah zuhud sebagai pembenaran, sebagai satpam dan pagar kemalasanku. Amin.
            Lalu, bagaimana dengan zuhud kita? Zuhud keterpaksaan, kebetulan, atau karena sebuah pilihan?  Mari kita introspeksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar