Oleh: Drs. M. Musta’in, S.Pd, M.Ag
Ketua
Komisi Pendidikan MUI
Kabupaten
Pringsewu
Indah dan keindahan merupakan sebuah nuansa yang baru dapat dirasakan
manakala kita sudah tidak berada pada “ruang
dan waktu” ketika tempat yang indah itu kita tinggalkan. Rasa indah dan
keindahan pada umumnya baru muncul dan terasa di saat ada perasaan rindu atau kangen terhadap tempat yang
kita tinggalkan tadi. Semakin jauh tempat dan semakin lama waktu kita
tinggalkan, maka akan semakin ada rasa indah dan keindahan yang kita rasakan (tentu
saja hal ini tidak untuk pernyataan semakin jauh dengan pencipta akan semakin
terasa indah). Keindahan-keindahan semacam ini akan menimbulkan suasana yang
romantis. Demikian pula dengan perjalanan sejarah yang dilalui oleh manusia.
Selalu saja memunculkan romantisme keindahan agar dapat kembali dialami seperti
masa-masa kejayaan masa lalu. Oleh sebab itu, kemudian orang mengadakan semacam
peringatan terhadap peristiwa-peristiwa penting atau yang dianggap penting yang
pernah terjadi. Peringatan itu kemudian dijadikan momentum untuk mengambil hikmah dari kejadian
yang telah lalu.
Setidaknya ada dua momentum penting di bulan ini yang bisa dijadikan sebagai
bahan renungan kita bersama didalam mengarungi kehidupan sebagai bagian dari
penduduk negeri, yang mempunyai kewajiban untuk membangun, memelihara dan
mempertahankan eksistensinya sekaligus menjaga keutuhan bangsanya (NKRI-nya). Juga
sebagai bagian dari umat Islam yang berkewajiban untuk mendalami, memahami, dan
mengamalkan ajaran agamanya agar dapat mempertanggungjawabkan dihadapan sang
pencipta. Kedua momentum yang dimaksud adalah:
Pertama peringatan hari pahlawan 10 November.
Belum lama ini bangsa Indonesia baru saja memperingati
hari pahlawan. Hari di mana bangsa ini mengingat-ingat kembali nilai-nilai perjuangan
para pendahulunya didalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsanya
dengan ulet dan penuh kegigihan, mengingat-ingat prinsip hidup mereka dalam
berjuang, mengingat pengorbanan yang telah mereka berikan; baik tenaga,
pikiran, harta kekayaan, keluarga bahkan nyawa sekalipun. Hal itu mereka
lakukan demi sebuah kebebasan, demi melepaskan
diri dari keterkungkungan dan cengkeraman penjajah. Perjuangan yang penuh dengan
segenap pengorbanan tersebut ternyata tidak sia-sia, hasilpun dapat dicapai.
Kemerdekaan telah diperoleh. Dan kini sudah sepantasnya penghormatan kita berikan
yang setinggi-tingginya atas jasa-jasa mereka yang telah disumbangkan untuk
negeri ini. Pengorbanan yang telah mereka berikan tersebut, telah mampu menghantarkan
negeri ini terbebas dari belenggu penjajahan. Dan tentunya juga atas
pertolongan Allah Swt Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya Kemerdekaan telah di
tangan, dan kini tinggal menjadi tugas generasi berikutnya untuk mengisi hasil
jerih payah mereka. Namun apakah kita telah mampu untuk mengisi hasil
perjuangan para pahlawan tersebut ? Jawaban terpulang kepada segenap pembaca
yang budiman.
Memang terkadang tampak
dihadapan kita melalui media cetak maupun elektronik sebagian warga negeri ini masih
belum mampu mewarisi/ mengambil nilai-nilai kepahlawanan yang telah dicontohkan
pahlawan-pahlawan kita. Jiwa kebersamaan, jiwa kegotong-royongan, jiwa
kemandirian, jiwa patriotisme, jiwa nasionalisme, kesabaran, sikap keadilan,
menghargai perbedaan, hidup dalam kedamaian -itu semua menjadi bagian nilai-nilai kepahlawanan- ternyata masih belum sepenuhnya dapat kita
miliki. Jangankan memilikinya, ditanya siapa saja pahlawan Islam yang telah
berjasa atas perjuangan meraih kemerdekaan bangsa ini, mereka sudah banyak yang
tidak mengenalnya. Terkadang hilang rasa bangga menjadi bangsa Indonesia karena
merasa rendah diri, tidak bangga menggunakan produk dalam negeri dan
seterusnya. Ini merupakan bagian dari mulai memudarnya rasa percaya diri dan
nasionalisme kebangsaan kita. Sehingga akan dengan mudah faham-faham yang
mengantarkan persatuan kita menjadi terkoyak. Mudah-mudahan belumlah sirna rasa
kebersamaan kita bersama.
Momentum yang Kedua adalah; peringatan tahun
baru Hijriyah 1434.
Mayoritas penduduk Indonesia
memeluk agama Islam. Tidaklah mengherankan bila umat Islam di negeri ini
bersama umat Islam dipenjuru dunia lain merayakan/ memperingati datangnya tahun
baru bagi umat Islam tersebut. Sudah selayaknya umat Islam merayakan hari tahun
barunya. Bagi kita didalam memasuki tahun 1434 H mengisi perayaannya, dilakukan
dengan bermuhasabah terhadap apa yang telah dilewati, memperbaiki kesalahan
untuk tidak mengulanginya lagi di tahun mendatang dan menjadikannya sebagai
pijakan untuk melakukan yang terbaik. Peringatan tahun baru Hijriyah tidak
sepantasnya bila dilakukan dengan hura-hura layaknya tahun baru yang umum kita
saksikan. Dan jangan pula dirayakan dengan kegiatan-kegiatan yang tidak selaras
dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Telah banyak diketahui di
kalangan umat Islam terutama dalam sejarah Islam bahwa perhitungan tahun baru Hijriyah
itu didasarkan atas usulan Umar bin Khattab yang juga disepakati oleh para
sahabat lain pada kala itu. Penentuan tersebut dimulai dari hijrahnya nabi secara
fisik bersama para sahabat ke kota Madinah.
Hijrah mempunyai arti berpindah.
Rasulullah dan para sahabatnya sebelum melakukan hijrah secara fisik (hijrah
badaniyah, yakni berpindah secara fisik dari satu tempat ke tempat lain)
terlebih dahulu telah melatih diri melakukan hijrah secara mental (qalbiyah,
yakni berpindah secara ruhaniah dari sifat yang tidak baik menjadi baik, riya’
atau sum’ah menuju iklash, pemarah menuju sabar dan pemaaf, dhalim menuju adil,
kufur menjadi syukur, syirik menjadi iman dan sebagainya). Tiga belas tahun
lamanya nabi dan para sahabat mengambil sikap hijrah qalbiyah di tengah-tengah
komunitas masyarakat yang tertutup oleh kabut kejahiliyahan dan kemusyrikan.
Keruhanian/ qalbu nabi dan para sahabat tidak terpengaruh terhadap kebiasaan
masyarakat jahiliyah di Mekkah (tempat dimana semua keluarga dan sanak kerabat
tinggal). Mereka tetap tegak
mempertahankan identitas dan komitmen keimanannya, tidak hanyut dan tidak larut
oleh arus kesesatan. Dengan kondisi yang demikian itu justru membawa keyakinan
dan keimanan mereka semakin matang dan tangguh. Ketabahan dan kesabaran mereka
semakin membaja. Sehingga ketika datang saatnya harus melakukan hijrah secara
fisik (hijrah badaniyah), hati mereka tidak tergoncang sedikitpun, tidak terbersit
di hatinya untuk berlari menghindarinya (meskipun ada juga yang berhijrah
dengan niat bukan karena Allah, yang kemudian memunculkan hadist “segala sesuatu tergantung pada niatnya”).
Bahkan justeru mereka membulatkan tekad untuk membangun peradaban baru di
tempat yang baru. Hijrah fisik yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat
bukanlah hijrah karena ingin lari untuk menyelamatkan diri dan harta kekayaan,
melainkan hijrah sebagai bentuk kelanjutan dan buah dari hijrah qalbiyah. Dan
terbukti dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun tinggal di kota Madinah, beliau
bersama sahabat-sahabatnya berhasil menata Madinah menjadi kota dengan
peradaban baru dan perundang-undangan baru yang tertuang di dalam piagam yang
dikenal dengan “Piagam Madinah”. Dengan konstitusi tersebut nabi berhasil
mengatur Madinah dengan baik, meskipun didalamnya banyak kabilah, kepercayaan
yang berbeda dan kehidupan yang sangat majemuk pada kala itu. Namun
keharmonisan dan kedamaian dapat tercipta.
Hijrah merupakan peristiwa bersejarah yang memiliki makna penting dan
strategis untuk dijadikan pijakan kita dalam melangkah. Dan senantiasa relevan
dengan konteks ruang dan waktu sekarang maupun yang akan datang. Hijrahnya nabi
dari Mekah ke Madinah penuh dengan perjuangan, terlebih lagi ketika sedang
berproses membangun tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Kota
Madinah. Nilai-nilai perjuangan beliau sangat perlu untuk diurai kembali,
dikaji dan didalami. Banyak hal yang telah dicontohkan oleh nabi namun belum
banyak diketahui karena kita kurang membaca sejarah perjalanan hidupnya. Yang
kita tahu sementara adalah nabi lahir tanggal berapa, lahir dimana, meninggal
dimana, hijrah kemana ? Sementara Shirah Nabawiyah amat banyak yang mengupas
tentang kepribadiannya.
Tentunya tulisan ringkas ini belum representative untuk menjadi pembuka
kita mengambil nilai-nilai perjuangan nabi, tapi setidaknya mencoba untuk
mengingatkan bahwa tahun baru Islam sudah seharusnya kita jadikan bagian untuk
membangun kesemangatan, kebangkitan, perenungan baru guna memperbaiki kesalahan
yang telah lewat agar tidak terulang, dan menata kebaikan-kebaikan yang akan
datang melalui momentum sejarah Hijrahnya Nabi Muhammad Saw. Memperingati tahun
baru tidak hanya sekedar bernostalgia akan apa yang telah dilakukan tetapi
bagaimana kita akan melakukan, tidak hanya sekedar menghitung apa yang telah
dicapai tapi menghitung pula apa yang belum tercapai, tidak hanya menghitung
keberhasilannya tetapi juga menghitung kegagalannya dan mengapa gagal, dan
seterusnya..
Dengan kedua
momentum diatas ada baiknya kita ambil nilai-nilai kepahlawanan para pendahulu
kita dan patut untuk kita teladani, dengan cara memperingati, membaca
perjalanan sejarah hidupnya, melestarikan bukti-bukti sejarah perjuangannya,
mendoakan mereka dan tak lupa mewariskan pada anak-anak kita agar mereka
mengenal pahlawan-pahlawan bangsanya. Dan juga marilah tahun baru hijriyah 1434H
ini kita jadikan sebagai momentum untuk memperkokoh keimanan, memperteguh
perjuangan dan gigih mempertahankan hasil perjuangan dengan mengisinya melalui
aktifitas keseharian yang membawa kemanfaatan untuk semuanya dan tidak hanya
kemanfaatan untuk dirinya. Khairu al-nas Anfa’uhum linnas.
Wallahu a’lam
bi al-shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar