SELAMAT DATANG DI LTN NU (Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama) KABUPATEN PRINGSEWU

Jumat, 23 November 2012

Berjuang dengan Berhijrah




Oleh: Drs. M. Musta’in, S.Pd, M.Ag
 Ketua Komisi Pendidikan MUI
Kabupaten Pringsewu

Indah dan keindahan merupakan sebuah nuansa yang baru dapat dirasakan manakala kita sudah tidak berada pada “ruang dan waktu” ketika tempat yang indah itu kita tinggalkan. Rasa indah dan keindahan pada umumnya baru muncul dan terasa di saat ada perasaan rindu atau kangen terhadap tempat yang kita tinggalkan tadi. Semakin jauh tempat dan semakin lama waktu kita tinggalkan, maka akan semakin ada rasa indah dan keindahan yang kita rasakan (tentu saja hal ini tidak untuk pernyataan semakin jauh dengan pencipta akan semakin terasa indah). Keindahan-keindahan semacam ini akan menimbulkan suasana yang romantis. Demikian pula dengan perjalanan sejarah yang dilalui oleh manusia. Selalu saja memunculkan romantisme keindahan agar dapat kembali dialami seperti masa-masa kejayaan masa lalu. Oleh sebab itu, kemudian orang mengadakan semacam peringatan terhadap peristiwa-peristiwa penting atau yang dianggap penting yang pernah terjadi. Peringatan itu kemudian dijadikan  momentum untuk mengambil hikmah dari kejadian yang telah lalu. 

Setidaknya ada dua momentum penting di bulan ini yang bisa dijadikan sebagai bahan renungan kita bersama didalam mengarungi kehidupan sebagai bagian dari penduduk negeri, yang mempunyai kewajiban untuk membangun, memelihara dan mempertahankan eksistensinya sekaligus menjaga keutuhan bangsanya (NKRI-nya). Juga sebagai bagian dari umat Islam yang berkewajiban untuk mendalami, memahami, dan mengamalkan ajaran agamanya agar dapat mempertanggungjawabkan dihadapan sang pencipta. Kedua momentum yang dimaksud adalah:
Pertama peringatan hari pahlawan 10 November.

Belum lama ini bangsa Indonesia baru saja memperingati hari pahlawan. Hari di mana bangsa ini mengingat-ingat kembali nilai-nilai perjuangan para pendahulunya didalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsanya dengan ulet dan penuh kegigihan, mengingat-ingat prinsip hidup mereka dalam berjuang, mengingat pengorbanan yang telah mereka berikan; baik tenaga, pikiran, harta kekayaan, keluarga bahkan nyawa sekalipun. Hal itu mereka lakukan  demi sebuah kebebasan, demi melepaskan diri dari keterkungkungan dan cengkeraman penjajah. Perjuangan yang penuh dengan segenap pengorbanan tersebut ternyata tidak sia-sia, hasilpun dapat dicapai. Kemerdekaan telah diperoleh. Dan kini sudah sepantasnya penghormatan kita berikan yang setinggi-tingginya atas jasa-jasa mereka yang telah disumbangkan untuk negeri ini. Pengorbanan yang telah mereka berikan tersebut, telah mampu menghantarkan negeri ini terbebas dari belenggu penjajahan. Dan tentunya juga atas pertolongan Allah Swt Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya Kemerdekaan telah di tangan, dan kini tinggal menjadi tugas generasi berikutnya untuk mengisi hasil jerih payah mereka. Namun apakah kita telah mampu untuk mengisi hasil perjuangan para pahlawan tersebut ? Jawaban terpulang kepada segenap pembaca yang budiman.
Memang terkadang tampak dihadapan kita melalui media cetak maupun elektronik sebagian warga negeri ini masih belum mampu mewarisi/ mengambil nilai-nilai kepahlawanan yang telah dicontohkan pahlawan-pahlawan kita. Jiwa kebersamaan, jiwa kegotong-royongan, jiwa kemandirian, jiwa patriotisme, jiwa nasionalisme, kesabaran, sikap keadilan, menghargai perbedaan, hidup dalam kedamaian -itu semua menjadi bagian nilai-nilai kepahlawanan-  ternyata masih belum sepenuhnya dapat kita miliki. Jangankan memilikinya, ditanya siapa saja pahlawan Islam yang telah berjasa atas perjuangan meraih kemerdekaan bangsa ini, mereka sudah banyak yang tidak mengenalnya. Terkadang hilang rasa bangga menjadi bangsa Indonesia karena merasa rendah diri, tidak bangga menggunakan produk dalam negeri dan seterusnya. Ini merupakan bagian dari mulai memudarnya rasa percaya diri dan nasionalisme kebangsaan kita. Sehingga akan dengan mudah faham-faham yang mengantarkan persatuan kita menjadi terkoyak. Mudah-mudahan belumlah sirna rasa kebersamaan kita bersama.

Momentum yang Kedua adalah; peringatan tahun baru Hijriyah 1434.

Mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Tidaklah mengherankan bila umat Islam di negeri ini bersama umat Islam dipenjuru dunia lain merayakan/ memperingati datangnya tahun baru bagi umat Islam tersebut. Sudah selayaknya umat Islam merayakan hari tahun barunya. Bagi kita didalam memasuki tahun 1434 H mengisi perayaannya, dilakukan dengan bermuhasabah terhadap apa yang telah dilewati, memperbaiki kesalahan untuk tidak mengulanginya lagi di tahun mendatang dan menjadikannya sebagai pijakan untuk melakukan yang terbaik. Peringatan tahun baru Hijriyah tidak sepantasnya bila dilakukan dengan hura-hura layaknya tahun baru yang umum kita saksikan. Dan jangan pula dirayakan dengan kegiatan-kegiatan yang tidak selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Telah banyak diketahui di kalangan umat Islam terutama dalam sejarah Islam bahwa perhitungan tahun baru Hijriyah itu didasarkan atas usulan Umar bin Khattab yang juga disepakati oleh para sahabat lain pada kala itu. Penentuan tersebut dimulai dari hijrahnya nabi secara fisik bersama para sahabat ke kota Madinah.
Hijrah mempunyai arti berpindah. Rasulullah dan para sahabatnya sebelum melakukan hijrah secara fisik (hijrah badaniyah, yakni berpindah secara fisik dari satu tempat ke tempat lain) terlebih dahulu telah melatih diri melakukan hijrah secara mental (qalbiyah, yakni berpindah secara ruhaniah dari sifat yang tidak baik menjadi baik, riya’ atau sum’ah menuju iklash, pemarah menuju sabar dan pemaaf, dhalim menuju adil, kufur menjadi syukur, syirik menjadi iman dan sebagainya). Tiga belas tahun lamanya nabi dan para sahabat mengambil sikap hijrah qalbiyah di tengah-tengah komunitas masyarakat yang tertutup oleh kabut kejahiliyahan dan kemusyrikan. Keruhanian/ qalbu nabi dan para sahabat tidak terpengaruh terhadap kebiasaan masyarakat jahiliyah di Mekkah (tempat dimana semua keluarga dan sanak kerabat tinggal).  Mereka tetap tegak mempertahankan identitas dan komitmen keimanannya, tidak hanyut dan tidak larut oleh arus kesesatan. Dengan kondisi yang demikian itu justru membawa keyakinan dan keimanan mereka semakin matang dan tangguh. Ketabahan dan kesabaran mereka semakin membaja. Sehingga ketika datang saatnya harus melakukan hijrah secara fisik (hijrah badaniyah), hati mereka tidak tergoncang sedikitpun, tidak terbersit di hatinya untuk berlari menghindarinya (meskipun ada juga yang berhijrah dengan niat bukan karena Allah, yang kemudian memunculkan hadist “segala sesuatu tergantung pada niatnya”). Bahkan justeru mereka membulatkan tekad untuk membangun peradaban baru di tempat yang baru. Hijrah fisik yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat bukanlah hijrah karena ingin lari untuk menyelamatkan diri dan harta kekayaan, melainkan hijrah sebagai bentuk kelanjutan dan buah dari hijrah qalbiyah. Dan terbukti dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun tinggal di kota Madinah, beliau bersama sahabat-sahabatnya berhasil menata Madinah menjadi kota dengan peradaban baru dan perundang-undangan baru yang tertuang di dalam piagam yang dikenal dengan “Piagam Madinah”. Dengan konstitusi tersebut nabi berhasil mengatur Madinah dengan baik, meskipun didalamnya banyak kabilah, kepercayaan yang berbeda dan kehidupan yang sangat majemuk pada kala itu. Namun keharmonisan dan kedamaian dapat tercipta.
Hijrah merupakan peristiwa bersejarah yang memiliki makna penting dan strategis untuk dijadikan pijakan kita dalam melangkah. Dan senantiasa relevan dengan konteks ruang dan waktu sekarang maupun yang akan datang. Hijrahnya nabi dari Mekah ke Madinah penuh dengan perjuangan, terlebih lagi ketika sedang berproses membangun tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Kota Madinah. Nilai-nilai perjuangan beliau sangat perlu untuk diurai kembali, dikaji dan didalami. Banyak hal yang telah dicontohkan oleh nabi namun belum banyak diketahui karena kita kurang membaca sejarah perjalanan hidupnya. Yang kita tahu sementara adalah nabi lahir tanggal berapa, lahir dimana, meninggal dimana, hijrah kemana ? Sementara Shirah Nabawiyah amat banyak yang mengupas tentang kepribadiannya.
Tentunya tulisan ringkas ini belum representative untuk menjadi pembuka kita mengambil nilai-nilai perjuangan nabi, tapi setidaknya mencoba untuk mengingatkan bahwa tahun baru Islam sudah seharusnya kita jadikan bagian untuk membangun kesemangatan, kebangkitan, perenungan baru guna memperbaiki kesalahan yang telah lewat agar tidak terulang, dan menata kebaikan-kebaikan yang akan datang melalui momentum sejarah Hijrahnya Nabi Muhammad Saw. Memperingati tahun baru tidak hanya sekedar bernostalgia akan apa yang telah dilakukan tetapi bagaimana kita akan melakukan, tidak hanya sekedar menghitung apa yang telah dicapai tapi menghitung pula apa yang belum tercapai, tidak hanya menghitung keberhasilannya tetapi juga menghitung kegagalannya dan mengapa gagal, dan seterusnya..
Dengan kedua momentum diatas ada baiknya kita ambil nilai-nilai kepahlawanan para pendahulu kita dan patut untuk kita teladani, dengan cara memperingati, membaca perjalanan sejarah hidupnya, melestarikan bukti-bukti sejarah perjuangannya, mendoakan mereka dan tak lupa mewariskan pada anak-anak kita agar mereka mengenal pahlawan-pahlawan bangsanya. Dan juga marilah tahun baru hijriyah 1434H ini kita jadikan sebagai momentum untuk memperkokoh keimanan, memperteguh perjuangan dan gigih mempertahankan hasil perjuangan dengan mengisinya melalui aktifitas keseharian yang membawa kemanfaatan untuk semuanya dan tidak hanya kemanfaatan untuk dirinya. Khairu al-nas Anfa’uhum linnas.
Wallahu a’lam bi al-shawwab.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar