Oleh : DR. KH. Khairuddin Tahmid,
MH
Katib Syuriyah PWNU Lampung
Para ulama
tasawuf berbeda pendapat dalam menetapkan asal usul penggunaan istilah tasawuf.
Dalam perkembangan awalnya istilah tasawuf, oleh para orientalis, secara khusus
diberi nama “sufisme”, dan diantara
mereka juga ada yang menggunakan istilah “mistisisme.”
Ta’rif Tasawuf
Para sufi
(pengamal ajaran tasawuf) maupun pengamat (orang yang tidak mengamalkan ajaran
tasawuf), tidak sama dalam mengartikan tasawuf. Mereka (kaum sufi) memberikan makna sesuai dengan
pengalaman spritualnya, sedangkan para pengamat melihatnya dari segi pandangan
intelektual dan logikanya saja. Tentu saja, oleh karena sudut pandang dalam
memaknai tasawuf tidak sama, wajar kalau kemudian mereka tidak sama dalam
memberikan pemaknaannya.
Alhamdulillahnya,
sekalipun tidak sama sudut pandang dan dalam memberikan pemaknaannya, semuanya
sepakat bahwa inti penting dari tasawuf
itu berada dalam dua hal; pertama,
kesucian jiwa untuk menghadap Allah sebagai zat yang maha suci, kedua, upaya mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Dalam bahasa lain, inti dari tasawuf adalah upaya mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Akan tetapi, upaya apapun yang dilakukan manusia tidak akan
berarti apa-apa, jika tidak diawali dengan penyucian jiwa, sebab Allah SWT
adalah zat yang maha suci tidak akan dapat didekati, melainkan oleh orang-orang
yang suci pula. Tegasnya, penyucian jiwa dipandang sebagai pokok pertama ajaran
tasawuf, karena dari penyucian jiwa itulah akan berdampak pada kedamaian,
kebahagiaan dan kesejukan hati, sebagaimana firman Allah : “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilan orang-orang yang mengotorinya”. (Qur’an Surat As-Syams :
9-10).
Perhatikan saja,
sekalipun sedikit untuk memperkuat apa yang telah dikemukakan di atas, berikut
ini akan diurai apa itu tasawuf, baik dari sudut bahasa (etimologi/lughoh) maupun dari sudut istilah (terminologi).
Untuk sekedar
mengartikan kata tasawuf saja, para ahli berbeda pendapat dari mana asal
usulnya. Ada beberapa teori untuk melacaknya. Pertama, kata sufi berasal dari kata “suf” yang berati bulu atau wol (kain
wol). Hal ini karena lazimnya, dulu, orang tasawuf suka memakai pakaian
yang berasal dari wol kasar, bukan wol halus. Pakaian demikian, pada awal
perkembangan Islam merupakan kebalikan dari pakaian sutra. Pakaian wol kasar
sebagai simbol kesederhanaan dan kesahajaan. Orang sekarang menyebutnya pakaian
katrok/ndeso. Sedangkan pakaian sutra adalah simbol kemewahan yang biasa
dipakai oleh kaum bangsawan dan pejabat. Kalau dibahasakan dengan kata yang
sederhana, dengan berpakaian wol kasar, para pengamal tasawuf (sufi) mencirikan dirinya bergaya hidup
sederhana, namun dibalik itu mereka berhati suci dan mulia. Pengamal tasawuf
sengaja menjauhi gaya hidup mewah, necis, ngota, termasuk dalam hal berpakaian.
Kedua, kata sufi dinisbatkan pada kata “ahlus shuffah” yaitu satu istilah yang
diberikan kepada orang-orang sufi pada zaman Rasulullah SAW, mereka yang
mengikuti Nabi hijrah dari Makkah ke Madinah. Mereka meninggalkan harta
kekayaan ditempat asalnya (Mekkah),
sehingga keadaan ekonominya di Madinah menjadi miskin dan tak berharta. Mereka
menetap dan tidur di serambi masjid Nabawi dengan beralaskan bangku/rusbang dan memakai bantal
pelana yang tentu saja keras. Sekalipun miskin harta, ahlus shuffah itu berhati suci dan mulia. Sifat tidak mementingkan
duniawi dan berhati mulia inilah yang mencirikan sifat-sifat para pengamal
tasawuf.
Ketiga, istilah tasawuf bermula dari sufi yang asalnya dari kata “sofa” yang berarti suci. Seorang sufi
adalah orang yang berhati suci, yang dalam hidupnya selalu berusaha keras untuk
mensucikan dirinya melalui berbagai latihan berat dan memakan waktu yang lama.
Dengan kata lain, mereka diberi nama sufi karena kesucian hatinya dan kesucian
kelakuannya.
Keempat, istilah tasawuf berasal dari kata “saf” yang berarti barisan sebagaimana saf dalam shalat. Bagi
mereka yang menempati posisi saf terdepan dalam shalat akan mendapatkan saf
terdepan di sisi Allah Azza Wajalla, dengan ketinggian cita-citanya untuk
menghadap-Nya dan keinginan untuk bertemu dengan-Nya serta hatinya selalu tegak
di sisi-Nya. Dengan kata lain, para pengamal tasawuf akan mendapat kemulyaan
dan pahala lebih di sisi Allah, oleh karena mereka senantiasa mengedepankan
kesucian dan kemuliaan diri dihadapan-Nya.
Kelima, istilah tasawuf adalah nama yang dinisbatkan kepada bahasa
Yunani, yaitu berasal dari kata “sophos”
yang berarti ahli hikmah atau orang arif dan bijaksana.
Kelima teori
di atas yang mendasari perbedaan dalam merumuskan ta’rif (pengertian) tasawuf
ditinjau dari segi lughoh/bahasa. Kenapa teori yang digunakan oleh para ahli
terkesan berbeda-beda. Untuk yang ini tidak perlu dirahasiakan. Bahwa,
sesungguhnya, perbedaan-perbedaan pemaknaan dari segi bahasa tersebut, lebih
dikarenakan memaknakan tasawuf itu didasarkan pada kebiasaan lahiriyah yang
menonjol dari para pengamal tasawuf pada waktu dulu. Begitulah ilmu, cara
menyebut, menamakan dan merumuskan dari sudut lughot/bahasa, walaupun tujuan
akhirnya sama, yaitu mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah, tetapi
karena dasar mengata-ngatainya bersumber pada penglihatan lahiriyah, maka
wajarlah apabila kelihatannya tidak sama, tetapi pada intinya sama. Ini tentu
jauh lebih baik, dari pada sesuatu yang pada mulanya kelihatan sama, tetapi
pada ujungnya tidak sama. (Bersambung).
* Ditulis sebagai tulisan Rutin Kolom Tasawuf Bulletin Aswaja LTN NU Pringsewu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar