SELAMAT DATANG DI LTN NU (Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama) KABUPATEN PRINGSEWU

Jumat, 23 November 2012

Thariqah




DR. KH. Khairuddin Tahmid, MH

Katib Syuriyah PWNU Lampung


Secara sederhana, Thariqah dalam pengertian ilmu tasawuf berarti jalan menuju kepada Allah SWT guna mendapatkan ridlo-Nya dengan mentaati ajaran-ajaran-Nya. Dengan kata lain, Thariqah berarti suatu metoda atau cara yang harus ditempuh oleh seorang salik (orang yang meniti kehidupan sufistik), dalam rangka membersihkan jiwanya sehingga dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.


            Penggunaan istilah Thariqah, sering dihubungkan dengan dua istilah lain, yakni, syari'ah, dan hakikat. Berarti ada tiga istilah yang sering berhubungan satu sama lain, yaitu syari'ah, Thariqah dan hakikat. Ketiga istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan peringkat penghayatan seorang muslim. Penghayatan keagamaan peringkat awal disebut syari'at, peringkat kedua disebut Thariqah dan peringkat ketiga disebut hakekat. Yang dimaksud dengan syari'at adalah jalan utama yang mengandung peraturan keagamaan yang bersifat umum dan formal.
            Sedangkan Thariqah merupakan jalan yang lebih sempit yang terdapat dalam jalan umum syari'at. Artinya, Thariqah mengandung peraturan yang lebih khusus, yang ditujukan untuk orang-orang yang ingin mencapai penghayatan keagamaan yang lebih tinggi. Pengamalan syari'ah  merupakan jenis pengamalan keagamaan eksoteris (mementingkan dimensi luar atau pengamalan lahiriyah dan presedural), sedangkan Thariqah merupakan pengamalan keagamaan esoteris (mementingkan dimensi dalam atau jalur bathiniyah/substansial).
            Adapun hakekat, secara harfiyah berarti kebenaran, tetapi yang dimaksud hakekat disini adalah pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, yang dimulai dari pengamalan syari'at dan Thariqah secara seimbang.
            Pandangan tentang Thariqah dalam pengertian yang lebih operasional dan spesifik dikemukakan oleh Rois 'Am Jam'iyyah Ahlit Thoriqoh al-Mu'tabaroh an-Nahdliyyah, al-Habib Luthfi Bin Yahya dari Pekalongan, yang menyatakan bahwa sesungguhnya Thariqah itu terbagi dalam dua bagian, yaitu pertama namanya Thariqah syariah, dan kedua Thariqah wushul. Thariqah syari'ah adalah sebagaimana yang disebutkan oleh para ahli fiqh. Sedangkan Thariqah wushul adalah hasil atau buah dari Thariqah syari'ah. Thariqah wushul ini, dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kelompok pertama adalah diperuntukkan bagi orang-orang yang berpegang teguh pada sunnah Nabi, adab dan akhlaknya. Tahapan ini adalah tahapan awal untuk masuk Thariqah wushul.
            Tahap berikutnya adalah dengan ber-ittiba' atau mengikuti guru (mursyid) disertai dengan khidmah atau bersedia mengabdi dan taat, muwafaqot atau mengganggap benar dan menghindari sikap su'udzon atau berburuk sangka pada guru (mursyidnya) dalam segala keadaan dan ucapannya. Sedangkan kelompok kedua adalah diperuntukkan bagi mereka yang ingin mendapatkan tempat yang sedekat-dekatnya dengan Allah, melalui pendekatan membersihkan hati dari berbagai kotoran dengan zikir kepada Allah dengan cara-cara tertentu. Oleh karena itu, tingkatan kualitas keimanan seseorang itu tergantung pada kadar kebersihan hatinya. Tingkatan kebersihan hati seseorang tergantung pada kadar kejujurannya. Tingkatan kejujuran seseorang tergantung pada kadar keikhlasannya, sedangkan tingkatan keikhlasan seseorang itu tergantung pada keridloannya terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya.
            Istilah Thariqah, kemudian mengalami perkembangan makna. Pada mulanya, Thariqah bermakna jalan yang ditempuh oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT, selanjutnya istilah itu bergeser untuk menunjuk pada suatu metode psikologis yang dilakukan guru Thariqah (mursyid) kepada muridnya untuk mengenal Tuhan secara mendalam. Melalui metode psikologis itu, murid dilatih mengamalkan syariat dan latihan-latihan kerohanian secara ketat, sehingga ia mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan.
            Pengetahuan tentang Tuhan atau mengetahui Tuhan mengandung pengertian mengalami atau merasakan kehadiran Tuhan melalui kalbu, bukan melalui akal, karena akal hanya dapat memahami konsep ketuhanan setelah melalui pengkajian mendalam, yang didasarkan pada alasan-alasan dan fakta-fakta mengenai keberadaan Tuhan. Tentu saja, akal sangat berbeda dengan kalbu, melalui zauq (perasaan halus), hati dapat merasakan kehadiran Tuhan. Pada tingkat tertentu, seseorang yang merasakan kehadiran Tuhan dapat melimpahkan perasaannya kepada orang lain, sehingga orang itupun ikut merasakan hal yang sama. Dengan ungkapan yang kurang lebih sama dapat dikatakan bahwa melalui  "elektro-spiritual"  seseorang yang dapat merasakan kehadiran Tuhan dapat pula mentrasformasikan sebagai pengalaman bathinnya itu kepada orang lain, sehingga kalbu orang disentuh oleh  "elektro-spiritual"  itu menjadi hidup dan menyala, yakni dapat merasakan kehadiran Tuhan, dan tentu ia pun telah berada dalam wadah thariqat.
            Seseorang yang telah merasakan kehadiran Tuhan dan mendapatkan wewenang untuk melimpahkan perasaannya kepada orang lain itulah yang disebut mursyid Thariqah. Peranan mursyid Thariqah mirip dengan peranan seorang dokter. Mursyid adalah pemberi diagnosa dari penyakit hati dan menentukan bentuk-bentuk pengobatannya, agar murid sanggup menyadari kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Thariqah sebagai dimensi esotoris (aspek bathiniyah) ajaran Islam mempunyai segi-segi eksklusif yang menyangkut hal-hal yang bersifat rahasia. Kadar kerohaniannya yang sangat dalam itu tentu tidak semuanya dapat dimengerti oleh orang yang hanya menekuni dimensi eksoterik (aspek lahiriyah atau syariat) ajaran Islam.
            Oleh karena itu, tidak jarang terjadi salah pengertian di kalangan orang awam yang melihatnya. Oleh sebab itu pula, tidak dibenarkan  mengamalkan Thariqah tanpa bimbingan seorang mursyid yang terpercaya dan yang sudah diakui kewenangannya dalam mengajarkan Thariqah. Kewenangan  memberi ijazah seorang mursyid untuk memberi ilmu Thariqah dan membaiat muridnya diperoleh dari gurunya, dan gurunya pun mendapat ijazah dari gurunya pula, demikian seterusnya, sehingga membentuk mata rantai guru-guru Thariqah yang disebut sisilah thariqat.
            Ternyata, Thariqah dalam pengertian metode psikologis untuk mengenal dan mendekati Tuhan itu tidak hanya satu macam. Para sufi besar memiliki metode tersendiri dalam mengenal dan mendekati Tuhan. Oleh sebab itu, Thariqah pun bermacam-macam pula bentuknya. Semula suatu thariqat hanya berupa jalan atau metode yang ditempuh oleh seorang sufi secara individual, kemudian para sufi itu mengajarkan pengalamannya itu kepada murid-muridnya, baik secara individual maupun kelompok. Dari sinilah, terbentuknya suatu thariqat, dalam pengertian jalan menuju Tuhan dibawah bimbingan seorang guru (mursyid). Selanjutnya, dari pengertian demikian muncul lagi pengertian Thariqah dalam pengertian yang lain, yaitu organisasi sejumlah orang yang berusaha mengikuti kehidupan tasawuf.
            Perjalanan dan perkembangan Thariqah sebagai gerakan kesufian yang populer dan merupakan bentuk terakhir dari gerakan tasawuf amali, tampaknya kemunculannya mengalami pasang surut, sesuai dengan perkembangan dan dinamika umat yang terjadi. Secara umum, sejarah perkembangan Thariqah dapat dipetakan menjadi tiga tahap.
            Pertama, dinamai tahap Khanaqah (pusat pertemuan sufi), dimana syekh atau mursyid mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama di bawah peraturan yang tidak ketat, akan tetapi posisi syekh menjadi mursyid (guru) yang dipatuhi. Kontemplasi (khususiyahan) dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan kolektif. Masa ini terjadi pada sekitar abad X M, dan era ini merupakan masa keemasan tasawuf. Kedua, dinamai tahap toreqot. Masa ini terjadi sejak abad XIII M dan pada era ini sudah mulai terbentuk ajaran-ajaran, peraturan-peraturan dan merode-metode tasawuf. Pada masa inilah muncul pusat-pusat pendidikan yang mengajarkan tasawuf dengan silsilah masing-masing yang lengkap. Selain itu pada masa ini telah berkembang juga metode-metode kolektif  baru  yang mengajarkan bagaimana mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal yang paling penting juga dapat disebutkan bahwa di era ini, pengamal-pengamal tasawuf melalui thariqat tidak hanya diikuti oleh golongan masyarakat bawah, tetapi juga telah merambah pada masyarakat kelas menengah.
Ketiga, dinamai tahap ta'ifah. Tahap ini terjadi pada sekitar abad ke XV M. Pada era ini terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada penganut tasawuf, yang ditandai salah satunya adalah munculnya organisasi-organisasi tasawuf yang mempunyai cabang-cabang di tempat lain. Dengan kata lain, dari sinilah mulai organisasi sufi mengembangkan dan melestarikan ajaran syekh-sekh tertentu, kemudian juga lahirnya thariqat yang bermacam-macam, seperti thariqat qadiriyah, thariqat naqsabandiyah, thariqat syadzaliyah dan lain sebagainya.
            Dari berbagai uraian di atas, sejatinya ada benang merah, yang menunjukkan sama tapi tak serupa, munculnya banyak Thariqah dalam dunia tasawuf dengan munculnya banyak mazhab dalam ilmu fiqh dan munculnya firqah-firqah dalam ilmu kalam. Di dalam ilmu kalam berkembang golongan-golangan atau firqah-firqah, seperti khawarij; murji’ah, mu'tazilah, asy'ariyah, maturidiyah dan lain-lain. Demikian juga dalam ilmu fiqh, telah berkembang mazhab-mazbab yang populer, seperti mazhab Imam Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi'i. Disinilah kelihatan benang merah munculnya bermacam-macam kelompok pengamal tasawuf, yang disebut Thariqah-Thariqah yang telah disebut di atas. Justeru yang menarik adalah bahwa sesungguhnya jumlah Thariqah yang populer dan masyhur (mu'tabar) jauh lebih banyak dibandingkan dengan perkembangan mazhab dalam fiqh maupun firqah dalam ilmu kalam. Artinya, eksistensi Thariqah jelas mempunyai kedudukan dan posisi strategis dalam kajian Islam. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar