DR. KH. Khairuddin Tahmid, MH
Katib Syuriyah PWNU Lampung
Secara sederhana, Thariqah dalam pengertian ilmu tasawuf
berarti jalan menuju kepada Allah SWT guna mendapatkan ridlo-Nya dengan mentaati
ajaran-ajaran-Nya. Dengan kata lain, Thariqah berarti suatu metoda atau cara
yang harus ditempuh oleh seorang salik (orang yang meniti kehidupan sufistik),
dalam rangka membersihkan jiwanya sehingga dapat mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Penggunaan
istilah Thariqah, sering dihubungkan dengan dua istilah lain, yakni, syari'ah,
dan hakikat. Berarti ada tiga istilah yang sering berhubungan satu sama lain,
yaitu syari'ah, Thariqah dan hakikat. Ketiga istilah tersebut dipakai untuk
menggambarkan peringkat penghayatan seorang muslim. Penghayatan keagamaan
peringkat awal disebut syari'at, peringkat kedua disebut Thariqah dan peringkat
ketiga disebut hakekat. Yang dimaksud dengan syari'at adalah jalan utama yang
mengandung peraturan keagamaan yang bersifat umum dan formal.
Sedangkan
Thariqah merupakan jalan yang lebih sempit yang terdapat dalam jalan umum
syari'at. Artinya, Thariqah mengandung peraturan yang lebih khusus, yang
ditujukan untuk orang-orang yang ingin mencapai penghayatan keagamaan yang
lebih tinggi. Pengamalan syari'ah
merupakan jenis pengamalan keagamaan eksoteris (mementingkan dimensi
luar atau pengamalan lahiriyah dan presedural), sedangkan Thariqah merupakan
pengamalan keagamaan esoteris (mementingkan dimensi dalam atau jalur
bathiniyah/substansial).
Adapun
hakekat, secara harfiyah berarti kebenaran, tetapi yang dimaksud hakekat disini
adalah pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, yang dimulai dari pengamalan
syari'at dan Thariqah secara seimbang.
Pandangan
tentang Thariqah dalam pengertian yang lebih operasional dan spesifik
dikemukakan oleh Rois 'Am Jam'iyyah Ahlit Thoriqoh al-Mu'tabaroh an-Nahdliyyah,
al-Habib Luthfi Bin Yahya dari Pekalongan, yang menyatakan bahwa sesungguhnya
Thariqah itu terbagi dalam dua bagian, yaitu pertama namanya Thariqah syariah,
dan kedua Thariqah wushul. Thariqah syari'ah adalah sebagaimana yang disebutkan
oleh para ahli fiqh. Sedangkan Thariqah wushul adalah hasil atau buah dari
Thariqah syari'ah. Thariqah wushul ini, dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kelompok
pertama adalah diperuntukkan bagi orang-orang yang berpegang teguh pada sunnah
Nabi, adab dan akhlaknya. Tahapan ini adalah tahapan awal untuk masuk Thariqah
wushul.
Tahap
berikutnya adalah dengan ber-ittiba' atau mengikuti guru (mursyid) disertai
dengan khidmah atau bersedia mengabdi dan taat, muwafaqot atau mengganggap
benar dan menghindari sikap su'udzon atau berburuk sangka pada guru
(mursyidnya) dalam segala keadaan dan ucapannya. Sedangkan kelompok kedua
adalah diperuntukkan bagi mereka yang ingin mendapatkan tempat yang
sedekat-dekatnya dengan Allah, melalui pendekatan membersihkan hati dari
berbagai kotoran dengan zikir kepada Allah dengan cara-cara tertentu. Oleh
karena itu, tingkatan kualitas keimanan seseorang itu tergantung pada kadar kebersihan
hatinya. Tingkatan kebersihan hati seseorang tergantung pada kadar
kejujurannya. Tingkatan kejujuran seseorang tergantung pada kadar
keikhlasannya, sedangkan tingkatan keikhlasan seseorang itu tergantung pada
keridloannya terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadanya.
Istilah
Thariqah, kemudian mengalami perkembangan makna. Pada mulanya, Thariqah
bermakna jalan yang ditempuh oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada
Allah SWT, selanjutnya istilah itu bergeser untuk menunjuk pada suatu metode
psikologis yang dilakukan guru Thariqah (mursyid) kepada muridnya untuk
mengenal Tuhan secara mendalam. Melalui metode psikologis itu, murid dilatih
mengamalkan syariat dan latihan-latihan kerohanian secara ketat, sehingga ia
mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan.
Pengetahuan
tentang Tuhan atau mengetahui Tuhan mengandung pengertian mengalami atau
merasakan kehadiran Tuhan melalui kalbu, bukan melalui akal, karena akal hanya
dapat memahami konsep ketuhanan setelah melalui pengkajian mendalam, yang
didasarkan pada alasan-alasan dan fakta-fakta mengenai keberadaan Tuhan. Tentu
saja, akal sangat berbeda dengan kalbu, melalui zauq (perasaan halus), hati
dapat merasakan kehadiran Tuhan. Pada tingkat tertentu, seseorang yang
merasakan kehadiran Tuhan dapat melimpahkan perasaannya kepada orang lain,
sehingga orang itupun ikut merasakan hal yang sama. Dengan ungkapan yang kurang
lebih sama dapat dikatakan bahwa melalui
"elektro-spiritual"
seseorang yang dapat merasakan kehadiran Tuhan dapat pula
mentrasformasikan sebagai pengalaman bathinnya itu kepada orang lain, sehingga
kalbu orang disentuh oleh
"elektro-spiritual" itu
menjadi hidup dan menyala, yakni dapat merasakan kehadiran Tuhan, dan tentu ia
pun telah berada dalam wadah thariqat.
Seseorang
yang telah merasakan kehadiran Tuhan dan mendapatkan wewenang untuk melimpahkan
perasaannya kepada orang lain itulah yang disebut mursyid Thariqah. Peranan
mursyid Thariqah mirip dengan peranan seorang dokter. Mursyid adalah pemberi
diagnosa dari penyakit hati dan menentukan bentuk-bentuk pengobatannya, agar
murid sanggup menyadari kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Thariqah sebagai
dimensi esotoris (aspek bathiniyah) ajaran Islam mempunyai segi-segi eksklusif
yang menyangkut hal-hal yang bersifat rahasia. Kadar kerohaniannya yang sangat
dalam itu tentu tidak semuanya dapat dimengerti oleh orang yang hanya menekuni
dimensi eksoterik (aspek lahiriyah atau syariat) ajaran Islam.
Oleh karena
itu, tidak jarang terjadi salah pengertian di kalangan orang awam yang melihatnya.
Oleh sebab itu pula, tidak dibenarkan
mengamalkan Thariqah tanpa bimbingan seorang mursyid yang terpercaya dan
yang sudah diakui kewenangannya dalam mengajarkan Thariqah. Kewenangan memberi ijazah seorang mursyid untuk memberi
ilmu Thariqah dan membaiat muridnya diperoleh dari gurunya, dan gurunya pun
mendapat ijazah dari gurunya pula, demikian seterusnya, sehingga membentuk mata
rantai guru-guru Thariqah yang disebut sisilah thariqat.
Ternyata,
Thariqah dalam pengertian metode psikologis untuk mengenal dan mendekati Tuhan
itu tidak hanya satu macam. Para sufi besar memiliki metode tersendiri dalam
mengenal dan mendekati Tuhan. Oleh sebab itu, Thariqah pun bermacam-macam pula
bentuknya. Semula suatu thariqat hanya berupa jalan atau metode yang ditempuh
oleh seorang sufi secara individual, kemudian para sufi itu mengajarkan
pengalamannya itu kepada murid-muridnya, baik secara individual maupun kelompok.
Dari sinilah, terbentuknya suatu thariqat, dalam pengertian jalan menuju Tuhan
dibawah bimbingan seorang guru (mursyid). Selanjutnya, dari pengertian demikian
muncul lagi pengertian Thariqah dalam pengertian yang lain, yaitu organisasi
sejumlah orang yang berusaha mengikuti kehidupan tasawuf.
Perjalanan
dan perkembangan Thariqah sebagai gerakan kesufian yang populer dan merupakan
bentuk terakhir dari gerakan tasawuf amali, tampaknya kemunculannya mengalami
pasang surut, sesuai dengan perkembangan dan dinamika umat yang terjadi. Secara
umum, sejarah perkembangan Thariqah dapat dipetakan menjadi tiga tahap.
Pertama,
dinamai tahap Khanaqah (pusat pertemuan sufi), dimana syekh atau mursyid mempunyai
sejumlah murid yang hidup bersama di bawah peraturan yang tidak ketat, akan
tetapi posisi syekh menjadi mursyid (guru) yang dipatuhi. Kontemplasi (khususiyahan)
dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan kolektif. Masa
ini terjadi pada sekitar abad X M, dan era ini merupakan masa keemasan tasawuf.
Kedua, dinamai tahap toreqot. Masa ini terjadi sejak abad XIII M dan pada era
ini sudah mulai terbentuk ajaran-ajaran, peraturan-peraturan dan merode-metode
tasawuf. Pada masa inilah muncul pusat-pusat pendidikan yang mengajarkan
tasawuf dengan silsilah masing-masing yang lengkap. Selain itu pada masa ini
telah berkembang juga metode-metode kolektif baru
yang mengajarkan bagaimana mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal yang
paling penting juga dapat disebutkan bahwa di era ini, pengamal-pengamal
tasawuf melalui thariqat tidak hanya diikuti oleh golongan masyarakat bawah,
tetapi juga telah merambah pada masyarakat kelas menengah.
Ketiga, dinamai tahap ta'ifah. Tahap ini terjadi pada
sekitar abad ke XV M. Pada era ini terjadi transmisi ajaran dan peraturan
kepada penganut tasawuf, yang ditandai salah satunya adalah munculnya
organisasi-organisasi tasawuf yang mempunyai cabang-cabang di tempat lain.
Dengan kata lain, dari sinilah mulai organisasi sufi mengembangkan dan
melestarikan ajaran syekh-sekh tertentu, kemudian juga lahirnya thariqat yang
bermacam-macam, seperti thariqat qadiriyah, thariqat naqsabandiyah, thariqat
syadzaliyah dan lain sebagainya.
Dari
berbagai uraian di atas, sejatinya ada benang merah, yang menunjukkan sama tapi
tak serupa, munculnya banyak Thariqah dalam dunia tasawuf dengan munculnya
banyak mazhab dalam ilmu fiqh dan munculnya firqah-firqah dalam ilmu kalam. Di
dalam ilmu kalam berkembang golongan-golangan atau firqah-firqah, seperti
khawarij; murji’ah, mu'tazilah, asy'ariyah, maturidiyah dan lain-lain. Demikian
juga dalam ilmu fiqh, telah berkembang mazhab-mazbab yang populer, seperti
mazhab Imam Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi'i. Disinilah kelihatan benang
merah munculnya bermacam-macam kelompok pengamal tasawuf, yang disebut
Thariqah-Thariqah yang telah disebut di atas. Justeru yang menarik adalah bahwa
sesungguhnya jumlah Thariqah yang populer dan masyhur (mu'tabar) jauh lebih
banyak dibandingkan dengan perkembangan mazhab dalam fiqh maupun firqah dalam
ilmu kalam. Artinya, eksistensi Thariqah jelas mempunyai kedudukan dan posisi
strategis dalam kajian Islam. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar