SELAMAT DATANG DI LTN NU (Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama) KABUPATEN PRINGSEWU

Sabtu, 09 Juni 2012

Mengetuk Pintu Taubat

   
Oleh :  KH. DR. Khairuddin Tahmid
Katib PWNU Provinsi Lampung

Secara sederhana, ajaran pokok tasawuf berkisar sekitar proses penyucian jiwa  dan jalan pendekatan diri menuju kepada Tuhan. Proses dan jalan itu sendiri sangat panjang dan memiliki tahapan, yang dalam istilah tasawuf disebut maqomat. Maqomat adalah kedudukan seorang hamba dihadapan Allah SWT yang berhasil diperolehnya melalui ibadah, perjuangan melawan hawa nafsu (jihad an-nafs), berbagai latihan spritual (riyadah), dan bersungguh-sungguh menghadap segenap jiwa raga (intiqo') kepada Allah SWT.

    Maqomat yang harus dijalani oleh seorang sufi atau calon sufi terdiri dari beberapa tingkatan. Menurut Abu Bakar al-Kalabadzi, seorang sufi dari Bukhara, Asia Tengah, menyebutkan bahwa tingkatan maqomat itu ada tujuh, yaitu taubat, zuhud, sabar, tawakkal, ridho, mahabbah dan ma'rifat.
    Dari tujuh tingkatan maqomat seperti diuraikan di atas, pada umumnya para ahli sufi menempatkan taubat sebagai tahap pertama langkah perjalanan, dan peringkat awal dari peringkat-peringkat orang yang sedang mencari kedekatan dengan Tuhan.

Hujjatul Islam, Abu Hamid Muhammad al-Ghozali mengatakan bahwa untuk memahami masalah taubat, ada tiga hal yang perlu diketahui. Pertama, pengertian, yakni mengerti besarnya resiko yang timbul dari perbuatan dosa, yang pada gilirannya juga dapat menjadi penghalang terbukanya hubungan antara manusia dengan Tuhan, dan bahkan dapat menjadi hambatan datangnya semua akses ke jalan kebenaran. Kedua, suasana batin, yakni dengan pengetahuan tersebut akan mendorong timbulnya suasana yang tidak enak, yang menggelisahkan hati, suasana hatinya menjadi galau, dan apabila hal itu disadari karena perbuatan dirinya, maka ia akan menyesalinya. Ketiga, perbuatan, yakni kemauan untuk mengambil langkah nyata, dalam perbuatan dan prilaku, dengan meninggalkan semua perbuatan yang menyimpang yang pernah dilakukan.
    Taubat dapat diumpamakan sebagai pintu gerbang menuju kehidupan sufistik. Oleh karena itu dalam istilah tasawuf, taubat itu berarti kembali dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji, sesuai dengan ketentuan agama. Kedudukan taubat laksana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi yang kokoh, bangunan tidak akan dapat berdiri tegak. Dengan ilustrasi tersebut, dapat dikatakan, tanpa taubat, seseoarang tidak akan dapat mensucikan jiwanya dan tidak akan dapat dekat dengan Allah.
    Dalam perspektif tasawuf, taubat ini dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu pertama, taubatnya orang awam, yakni taubat dari perbuatan maksiat, dengan cara-cara seperti yang dikemukakan oleh Abu Hamid Muhammad al-Ghozali di atas. Kemudian yang kedua taubatnya bagi orang yang melakukan tasawuf (as-Salik), yakni karena merasa melakukan kelalaian mengingat atau mengurangi ketaatan kepada Allah, dengan cara melawan selera hawa nafsu dan kebiasaan-kebiasaannya, dan dengan cara itu ia dapat meningkatkan keberdayaan rohaninya untuk melakukan pendekatan kepada Allah secara lebih baik. Jenis ketiga adalah taubatnya bagi orang yang telah mencapai kearifan (al-Arif), yakni yang merasa terputus hubungan batinnya dengan Allah. Mereka berusaha secepat mungkin untuk dapat kembali berkomunukasi dengan Allah, dan berusaha dengan segala kemampuan rohaninya untuk selalu dalam pengayoman-Nya. Pada tingkatan ini, yang menjadi sumber persoalannya bukanlah masalah dosa atau karena kelalaian zikir kepada Allah, akan tetapi pada intensitas komunikasi kepada Allah menjadi tidak on-line (terputus).
    Sejatinya, dalam berbagai konteks, ulasan taubat dapat dijeniskan atau dibagi tingkatannya sesuai sudut pandang dan tinjauan. Misalnya, bertaubat dari dosa-dosa besar, seperti menyekutukan Allah SWT, durhaka kepada orang tua, berzina, meminun khamar, bersumpah palsu, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan agama dan lain sebagainya. Misal lain, bertaubat dari dosa-dosa kecil, perbuatan makruh, sikap dan tindakan yang menyimpang dari keutamaan, merasa diri suci, dan lain-lain.
    Taubat dari segala dosa merupakan anjuran dan ketentuan agama. Tidak kurang dari 71 kali kata taubat dengan deviasinya disebutkan dalam al-Qur'an, seperti : "Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal  shaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya." (Qur'an, Surah,  25 : 70-71).
    Dalam ayat lain juga disebutkan: "...... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah wahai orang yang beriman, supaya kamu beruntung."  (Qur'an, Surah Qof : 33).
     Taubat yang dilakukan secara tulus dalam istilah agama disebut taubatan nasuha, yakni taubat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan atas kesadaran hati yang paling dalam. Taubat nasuha merupakan kesadaran jiwa yang disertai tekad yang kuat untuk senantiasa melakukan kebaikan dan tidak mengulangi perbuatan jahat.
    Taubat nasuha pada intinya dapat terwujud apabila seseorang memenuhi tiga syarat. Pertama, membebaskan hati dari keinginan berbuat dosa. Apabila seseorang meninggalkan suatu perbuatan buruk, sementara hatinya masih menyimpan keinginan untuk melakukan perbuatan itu lagi, maka sebenarnya ia belum bertaubat. Kedua, meninggalkan perbuatan buruk yang pernah dilakukan pada masa lalu. Ketiga, disamping meninggalkan perbuatan buruk itu dilakukan harus muncul dari hasrat hati, juga diserta permohonan ampun kepada Allah SWT, demi mengagungkan asma-Nya serta menghindari kemurkaan azab-Nya.
    Makna substansial dari taubat yang sungguh-sungguh itu melahirkan dua sasaran pokok, yaitu di satu sisi dapat membuka jalan agar dapat kembali dekat dan taat kepada Allah SWT. Hal ini karena, pada galibnya, suatu perbuatan dosa yang dilakukan seseorang dapat mengakibatkan kehinaan dan tertutupnya jalan untuk melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Dosa yang dilakukan seseorang secara terus menerus, tanpa taubat, akan menjadikan hatinya gelap, penuh noda hitam, keras dan kotor. Hati yang demikian, tidak merasakan nikmatnya beribadah dan tidak akan merasakan manisnya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sekiranya Allah SWT tidak memberikan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-Nya yang berlumuran dosa, dengan jalan membuka pintu taubat, niscaya ia akan jatuh ke dalam kekafiran dan kehancuran selama hidupnya. Pada sisi lain, taubat menentukan diterimanya amal ibadah seseorang oleh Allah SWT. Oleh sebab itu, segala bentuk kebaikan, ketaatan, ibadah, doa yang dilakukan seseorang belum diterima oleh Allah SWT selama orang itu masih bergelimangan dosa. Oleh karena itu, mengetuk pintu taubat merupakan suatu keharusan bagi setiap hamba Allah yang mengharap amalnya diterima oleh Allah SWT.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar