SELAMAT DATANG DI LTN NU (Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama) KABUPATEN PRINGSEWU

Rabu, 29 Februari 2012

GURU NGAJI, RIWAYATMU KINI

Oleh : Abi Queen*
Khoirukum man ta’allam al qur’an wa ‘allamah….
(The best mankind is those who learns and teaches Qur’an)
“sebaik-baik kalian ialah yang mempelajari  Al Qur’an dan mengajarkanya.”

Nabi juga Guru ngaji

Rosulullah SAW dalam sabda beliau di atas, mengisyaratkan akan keistimewaan dan kedudukan yang mulia atas orang-orang yang mau mendedikasikan waktu dan umurnya untuk mempelajari ataupun mengajarkan AlQur’an diantara ummat lainya. Dalam hadis di atas terdapat beberapa hal yang menarik untuk kita petik hikmahnya.

Pertama, dalam hadits tersebut orang yang mempelajari Al Qur’an disebut nabi sebagai sebaik-baik ummat. Hal ini mengandung maksud bahwa mempelajari atau mengkaji/mengaji al Quran merupakan bentuk amaliah sholihah, mempelajari dalam hal ini tentu tak sesederhana hanya cara baca dan tulis Al Qur’an, namun mengandung implikasi berikhtiar, mengeksplorasi kandungan ilmu dan hikmah yang maha melimpah seperti yang telah di ilustrasikan dalam Al Qur’an sendiri dalam surat Al Kahfi,109.  yang artinya : “katakanlah (Muhammad), “seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai( penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” 
Akan keluasan kandungan Al Qur’an ini maka tepat sekali jika mempelajari Al Quran adalah proyek besar yang tiada batas waktu dan usia, sejak usia dini hingga lansia perintah mempelajari Al Quran hendaknya senantiasa lestari. Sehingga wahyu pertama turun saat itu adalah perintah untuk membaca “iqro’!”. Kata iqro’ terambil dari kata qoro’a pada mulanya berarti ‘menghimpun’. Kata iqro’ yang di terjemahkan dengan ‘bacalah’ tidak sekedar membaca teks tertulis atau sesuatu yang diucapkan agar terdengar oleh orang lain, karena dalam beberapa kamus terdapat beberapa arti antara lain, menyampaikan, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat ‘menghimpun’yang merupakan arti akar kata tersebut (Quraish shihab;2007).
Kedua, selanjutnya nabi menyebutkan orang yang paling baik ialah “man ‘allamahu”(orang yang mengajari/mengajarkan) Al Qur’an. Banyak istilah yang dapat disematkan  pada kategori ini  yang secara sederhana adalah guru ngaji. Guru ngaji dalam pengertian praktis adalah beliau-beliau yang pada ‘fitrahnya’ menjadi peletak bagi pondasi awal pembelajaran dan pemahaman Al Qur’an sekaligus pintu masuk utama bagi santri dalam proses pengembangan nilai-nilai ahlaq/moralitas berbasis islam semenjak usia  dini. Rosululloh SAW bersabda, “sesungguhnya aku di utus sebagai pengajar.” Dalam hadist lain Rosululloh menegaskan, “Barang siapa mendidik anak kecil hingga ia mampu mengucapkan kalimah laa ilaha illa Allah, maka Allah tidak akan menghisabnya kelak.”
Tak sekedar sebagai penyampai ilmu yang di ajarkan kepada si murid/santri, peran dan kontribusi dari guru ngaji sebagai penerus risalah da’wah secara sosial kemasyarakatan di akui juga aktif melakukan kontrol sosial dan pelopor bagi pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Dari sini banyak ulama yang kemudian merumuskan kriteria guru, baik dari sikap maupun watak salah satunya Imam Al Ghazali merumuskanya yang termaktub dalam ‘Ihya’ Ulum ad din’ diantaranya; mengajar dan membimbing adalah tugas seorang guru hingga sifat pokok yang harus dimiliki guru adalah kasih sayang dan lemah lembut. Karenanya, guru hendaknya berperan sebagai ayah atas anak didiknya, bahkan hak guru atas anak didiknya lebih daripada hak ayah atas anaknya. (KH. Sahal Mahfud;1994).

Guru ngaji dan resistensi sosial
Demikian penting dan strategis peran guru ngaji ditengah-tengah masyarakat menandakan kebutuhan akan guru ngaji adalah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Masyarakat dalam hal ini umat islam percaya bahwa dengan memasrahkan pendidikan keagamaan untuk anak-anak mereka sekaligus pendidikan moral/ahlaq islami kepada guru ngaji, orang tua sedikit banyak terbantu dalam mendidik dan mengawasi perilaku anak sehari-sehari. Dibandingkan apabila orang tua yang hanya menitipkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah formal yang hanya menyediakan porsi pendidikan budi pekerti dan agama sangat terbatas. Maka wajar jika masih ada orang tua yang merasa khawatir akan nasib ‘pola prilaku’ si anak di kemudian hari. Artinya disadari atau tidak,  terbukti bahwa guru ngaji hingga saat ini merupakan variable penting dalam meminimalisir dampak-dampak negatif dari arus informasi dan globalisasi. Minimal sebagai penjaga ‘system nilai’ dilingkungan masing-masing. Disinilah sebenarnya letak strategis peran guru ngaji dan lembaga pendidikan keagamaan pada umumnya.
Sebagai bagian dari warga masyarakat, guru ngaji pada satu sisi dihadapkan pada keharusan mengabdikan keilmuanya untuk semata-mata di baktikan pada ummat  dan beharap ridlo Alloh, mengajarkan Al-Quran dan menda’wahkanya merupakan kewajiban dan panggilan jiwa yang harus ditunaikan. Disisi lain mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga adalah persoalan harian yang tidak mungkin di tunda-tunda. Keadaan demikian  menuntut guru ngaji memposisikan diri berprofesi laiknya anggota masyarakat lainya seperti menjadi petani, berdagang, bahkan buruh serabutan yang pada situasi tertentu (misal: paceklik, kesulitan ekonomi dll)  sedikit mempengaruhi intensitas peranya dan berdampak pada kualitas pelayanan dan profesionalitas. Kondisi demikian bukan berarti guru ngaji telah abai atau tidak peduli lagi akan tugasnya namun lebih pada upaya menjaga ‘stabilitas’ antara tugas ukhrowi ( mengajar ngaji ) dan tuntutan duniyawi (menafkahi anak istri).
Upaya menjaga ‘stabilitas’ dalam hal ini dilakukan berdasarkan asumsi berikut : pertama, watak dan mental guru ngaji yang  terbiasa mandiri dan mengedepankan nilai-nilai zuhud dan ikhlas tanpa meminta bayaran dari apa yang diajarkanya. kedua,  keadaan ekonomi sebagian besar guru ngaji yang masih minus dan belum mapan. Ketiga, sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang ikut andil dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus penjaga sistem nilai peradaban, pemerintah kurang akomodatif dalam menyerap realitas keberadaan guru ngaji. Potret guru ngaji yang demikian masih ditambah lagi penghargaan dan kepedulian sebagian anggota masyarakat dalam hal ini orang tua santri masih minim dan cendrung abai. Semisal masih terdapat guru ngaji yang kesulitan dalam membeli alat tulis dalam mengajar, ketiadaan dana  membayar rekening listrik untuk penerangan ruang belajar belum lagi sikap orang tua santri yang diskriminatif dalam cara pandang pola pendidikan formal non formal (madrasah, pesantren,TPQ dll). Kondisi ini diperparah oleh sikap pemerintah sendiri yang hingga saat ini belum mampu menetapkan regulasi yang berpihak dan akomodatif pada persoalan guru ngaji. Padahal secara implicit Undang-Undang tentang Pendiddikan Nasional (UUPN) tahun 1989 pasal 47 mmenyebutkan, ”Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pendidikan nasional”. Atau PP No 55 tahun 2007 tentang keagamaan yang seolah mandek di meja menteri tanpa realisasi.
Opini penulis ini tidak dimaksudkan sebagai upaya menggiring masyarakat atau orang tua untuk menghargai guru ngaji dengan “membayar” sejumlah uang tertentu atau pemerintah dengan gaji dan insentif, namun lebih pada upaya membangkitkan kesadaran diantara sesama warga bangsa untuk bersama-sama mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Memang benar bahwa  jabatan guru ngaji adalah ‘jabatan’ sosial yang diberikan oleh masyarakat itu sendiri bukan oleh pemerintah atau pejabat eselon tertentu sehingga guru ngaji di tengah masyarakat lingkungan sekitar dijadikan sebagai tokoh informal bukan formal. Dan peran serta di masyarakat ini telah ada bahkan jauh sebelum negeri ini berdiri.

Melestarikan Guru ngaji
Beberapa pemikiran mengenai guru ngaji ini di maksudkan sebagai bahan renungan dan i’tibar kepada semua pihak dan elemen masyarakat bahwa kepedulian dan penghargaan bagi orang-orang yang berjasa dalam mencerdaskan bangsa dan sumbangsihnya pada keelokan peradaban adalah niscaya. Tokoh-tokoh besar negeri ini lahir menjadi berpengaruh mulai dari pahlawan negara sampai ulama-ulamanya adalah karena wasilah dan keikhlasan para guru-guru ngajinya. Mungkin bentuk perhatian dan penghargaan pada guru ngaji tidak sesederhana berupa materi dan gelimang fasilitas semata namun tindakan nyata yang bersifat immateri semisal penciptaan kondisi sosial yang kondusif bagi penghidupan mereka agar terwujud sikap dan ghiroh memerangi jahalah senantiasa lestari.
Maka tidak heran jika muncul di masyarakat kita beberapa paguyuban dan forum kebersamaan dan persaudaraan yang di dalamnya adalah para guru ngaji dari berbagai daerah semisal PERGUJI, YGNI, PERSADA AGUNG, di pringsewu sendiri ada PESARUNGSEWU dan lain-lain. Kesemuanya terlepas dari ideologi dan kepentingan yang membingkainya kita patut mengapreasi akan keseriusan masing-masing organisasi tersebut untuk senantiasa menyadarkan para anggotanya bahwa tujuan hakiki dari kiprah dan perjuangan guru ngaji tiada lain libtigho’i mardhotillah (menggapai ridlo Alloh) nilai-nilai seperti zuhud, qonaah dan ikhlas harus tetap lestari dan terjaga. Jangan sampai punah ataupun tergadai terkikis oleh kepentingan praktis ataupun kenikmatan instan sesaat. Inilah yang harus menjadi landasan pokok organisai/komunitas apapun yang mengatasnamakan guru ngaji.  
Segala bentuk bantuan atau insentif mungkin saja positif dan menggembirakan, tetapi harus juga dilihat dampak negatif yang akan beresiko mengganggu “stabilitas” mental guru ngaji itu sendiri semisal niatan guru ngaji yang semula libtigho’i mardhotillah namun karena menerima bantuan yang sifatnya tidak memberdayakan mereka, maka akan timbul dalam hati “ketergantungan” untuk mendapatkan bantuan kembali sehingga memposisikan guru ngaji sebagai “tangan yang dibawah.”
Dengan demikian kiranya PESARUNGSEWU (PErSAtuan guRU NGaji pringSEWU) dapat memaksimalkan perannya sebagai wadah silaturahmi dan komunikasi antar guru ngaji yang senantiasa menjunjung nilai-nilai ahli sunnah wal jama’ah serta berperan aktif bagi pemberdayaan masyarakat dan ummat demi terwujudnya masyararakat pringsewu yang sa’adat al daroin, bahagia duniawi dan ukhrowi. Insya Alloh.
Wallahu a’alam bi showab.

*) adalah santri Pondok Pesantren Nurul Ummah tinggal di Gemahripah Pagelaran.
 

5 komentar:

  1. habis manizz sepah di lempar,,oh guru ngajiku sayang guruku malang

    BalasHapus
  2. Semoga bisa menjadi perhatian kita semua....

    BalasHapus
  3. assalamualaikum wr wb... Alhamdulillah blog ini telah trbit yg tentu telah dinanti oleh nahliyyin sebgai wadah aspirasi ummat..selamat x3...
    semoga bisa istiqomah n slalu update...
    buat smua kru di ltnnu kab pringsewu moga tetep kompak n makin profesional dalam penerbitan bulletin maupun blognya,,, so be success!! ok!
    jazaakumullah ... amiin.

    BalasHapus
  4. terima kasih.... kami selalu meminta dukungan semua. kami akan terus ada karena dukungan anda semua. Amin

    BalasHapus
  5. Semua guru ngaji harus sabar dengan keadaan yang saat ini menimpa, keprihatinan yang mendalam bukan hanya anda yang merasakan, tetapi semua orang tua disetiap lapisan masyarakat juga ikut perihatin..

    BalasHapus