SELAMAT DATANG DI LTN NU (Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama) KABUPATEN PRINGSEWU

Minggu, 18 Maret 2012

NU, MEMBERDAYAKAN BUKAN MEMERDAYAKAN

Oleh : Fafasheba
 warga NU dan Pengurus FORSILASPA 
(Forum Silaturahmi Anak Sholeh Pagelaran). 

Periode awal menuju berdirinya organisasi nahdlatul ulama ialah masa-masa sulit penuh konflik. Kondisi bangsa Indonesia yang masih terbelenggu penjajah hindia belanda serta kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang lumpuh akibat eksploitasi massif dan akut di semua sumber-sumber daya bangsa kita  baik  potensi alam maupun manusianya  menyebabkan krisis multidimensi berkepanjangan melanda hampir seluruh bumi nusantara dan tercatat sebagai imperialisasi terlama hingga tiga setengah abad sepanjang sejarah  bangsa Indonesia.
Periode krisis ini menginspirasi beberapa sesepuh ulama pada masa itu untuk secara bersama –bersama memikirkan dan mencari jalan keluar bagi segala keluh kesah serta ketak berdayaan masyarakat dan ummat yang menjadi pengikutnya.  Ulama dan kyai di masa itu tidak berdiam diri dan tidak hanya berkutat pada ta’lim dan fatwa. Beliau-beliau rela blusukan menjadi actor utama bagi pergerakan-pergerakan jihad mengangkat senjata melawan penjajah menjaga pesantren dan kampong dari penjarahan dan perkosaan atas hak-hak milik warganya hingga tidak sedikit beliau-beliau ini gugur sebagai sahid dan pahlawan Negara. Upaya-upaya pergerakan untuk pembebasan dan kemerdekaan membutuhkan tidak hanya semangat dan niat namun dibutuhkan pula perencanaan dan pengorganisasian yang tangguh dan mumpuni karena para ulama dan kyai  menyadari hanya dengan bersatu dan berjamaahlah memudahkan pencapaian tujuan juga dapat menghimpun kekuatan yang tadinya kecil dan sporadis menjadi kekuatan besar dan tak mudah di patahkan menyadari demikian maka pada tahun 1914 tercetuslah sebuah organisasi yang membawa semangat nasionalisme dan religious organisasi yang menghimpun kekuatan dari pesantren-pesantren dengan ulama dan santri-santri juga dari rakyat jelata di dusun-dusun yang dikenal dengan Nahdlatul wathon yang artinya kebangkitan tanah air atau bangsa yang berfungsi sebagai wahana da’wah dan perjuangan agar terbentuk sumberdaya manusia Indonesia yang religious juga mempunyai jiwa  nasionalisme  tinggi.
Disamping  mendirikan Nahdlatul wathon- para ulama pendiri Nahdlatul Ulama,- kurang lebih empat tahun kemudian tepatnya pada tahun 1918 juga mendirikan Nahdlatut Tujjar dan Tashwirul Afkar. Nahdlatut Tujjar berarti kebangkitan para saudagar santri (muslim), sebagai gerakan ekonomi yang bertujuan menguatkan sendi-sendi perekonomian rakyat dan berbagai bentuk usaha bersama seperti koperasi dan pengembangan usaha kecil dan Tashwirul Afkar yang berarti  potret pemikiran adalah gerakan pemikiran yang berfungsi sebagai laboratorium sosial untuk mengembangkan dan menerjemahkan pemikiran-pemikiran Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman yang terus berubah. Ketiga organisasi inilah oleh para peneliti sejarah merupakan embrio bagi lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (kebangkitan para Ulama) pada tanggal 31 Januari 1926.(Suud Fuadi;2011).
Sehingga bisa disimpulkan bahwa kelahiran NU tidak lepas dari tiga pilar penyangga proses kelahiranya yaitu semangat kebangsaan dan nasionalisme (Nahdlatul Wathon) semangat pemberdayaan dan kesejahteraan ekonomi (Nahdlatut Tujjar) juga semangat pemikiran/kajian keilmuan dan pencerahan (Tashwirul Afkar).
            NU sebagai ormas keagamaan yang lebih tua 19 tahun dari usia Republik ini sekaligus terbesar dari sekian banyak ormas keagamaan lainya, sepanjang sejarah perjalananya turut  terlibat aktif dalam politik kenegaraan baik pada masa colonial belanda dengan semangat merebut kemerdekaan, agresi dan masa-masa selanjutnya hingga kini terlihat,  pada banyaknya tokoh-tokoh NU di negeri ini yang duduk pada jabatan politik dari tingkat RT hingga setara menteri.
Jejak rekam NU pada ranah politik yang pada muasalnya di khidmatkan untuk kemaslahatan nahdliyyiin dan organisai NU ternyata belum menampakkan tanda-tanda perkembangan dan kemajuan apalagi kesejahteraan bagi warganya. Tercatat berdasar survey LSI tahun 2004 jumlah penduduk miskin adalah 37,2 juta jiwa yang sebagian besar adalah warga nahdliyin dari 35 persen dari jumlah penduduk di Indonesia ini berarti warga kita masih menghuni rangking teratas diantara penduduk miskin lainya di negeri ini. Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah mendefinisikan politik sebagai berikut : “Politik adalah segala langkah (dengan kecerdasan) yang di maksudkan untuk mendekatkan masyarakat pada kemaslahatan dan menjauhkanya dari kemudaratan hidupnya, baik dengan mengacu pada dalil syara’ atau akal sehat saja.”  Jika tujuan atau misi politik adalah keamanan dan kesejahteraan, maka peran dan aktivitas yang seharusnya dilakukan adalah usaha sadar dan terencana bagi pemenuhan kebutuhan pokok pada kelompok sasararan ( nahdliyyin) yang bemanfaat. Usaha-usaha ini tentu melibatkan semua elemen yang ada pada organisasi NU itu sendiri sekaligus sinergitas lintas sector dan structural di luar NU. Niat politik yang sejatinya berfungsi untuk perkhidmatan dan pelayanan ummat harus diupayakan dan diwujudkan agar jangan sampai di“instankan “ dan  di”praktiskan” hanya sebagai alat merebut kekuasaan dan tujuan-tujuan pribadi bagi tercapainya “karir” perseorangan maupun kelompok “parasit” yang sengaja menyusup dan mendompleng nama besar organisasi yang berbasis massa terbesar di negeri ini. Memang masalah kemiskinan dan mispemberdayaan ummat menjadi agenda besar bagi organisasi NU yang tak kunjung usai dan belum berujung pada happy ending bagi warga nahdliyin, hal ini tidak saja menjadi keprihatinan NU sebagai ormas namun berbagai pihak baik pesantren, perguruan tinggi hingga pemerintah sendiri.
Adalah lebih urgen dan mendesak apabila NU kembali memposisikan di garda  paling depan dalam usaha-usaha pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi ummat secara terukur dan termenej dalam tiap program kerja dan perkhidmatan keorganisasianya di bandingkan urusan-urusan politik semata. Perlu dikobarkan kembali semangat “Nahdlatut Tujjar”- yang dulu oleh KH Wahab di gelorakan sebagai upaya memerangi kemelaratan dan penindasan akses perekonomian- pada jama’ah dan jam’iyyah NU. Semangat ini selaras dengan Statuen NU Fatsal 3 point e dan f yang berbunyi :
e. Memperhatikan hal-hal jang herhoeboengan dengan masdjid2, langgar2 dan
pondok2, begitoe djoega dengan hal ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang
jang fakir miskin.
 f. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan
peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara’ Agama Islam.”
Dalam statuen di atas jelas mengamanatkan bahwa program-program sosial dan pemberdayaan masyarakat adalah agenda fi’liyyah yang harus secara konsisten diupayakan dan di wujudkan. Kegiatan berupa aksi sosial dan pendampingan pada proses kemandirian ekonomi, pengentasan kemiskinan dan segala daya upaya bagi pemberantasan kebodohan sekaligus upaya serius dalam mengusahakan masyarakat dalam memperoleh akses biaya kesehatan terjangkau merupakan tanggung jawab sekaligus kewajiban yang harus di tunaikan. Jika NU focus pada pelayanan dan mampu berperan strategis pada upaya-upaya di atas insya Alloh NU akan makin di cintai masyarakat bukan di tinggalkan. Pepatah arab mengatakan : Himmatul Ulama arri’ayah : focus utama para ulama ialah menggembala,melayani dan menjadi solusi bagi ummat.
Adalah tepat NU sebagai organisasi kemasyarakatan, menjadikan pemberdayaan ummat dan masyarakat sebagai tema sentral dalam upaya membangun ummat sekaligus masyarakat Indonesia pada umumnya. Seiring kebijakan  pembangunan pemerintah yang tidak lagi sentralistik dan memberikan lingkup yang  lebih luas dan lebih otonom pada pemerintah daerah setempat. Maka PCNU kabupaten pringsewu di harapkan mampu mempelopori sekaligus merintis harokah-harokah keummatan melalui banom ( badan otonom ): ansor, fatayat, muslimat, IPNU dan IPPNU untuk bersinergi program dengan pihak pemerintah. Kiprah pemberdayaan oleh NU harus dimulai dari arus bawah ( grass root ) yang bercirikan semangat kemandirian dan disesuaikan pada potensi sumber hayati setempat. Kabupaten Pringsewu yang merupakam salah satu DOB ( Daerah Otonom Baru ) yang belum genap setahun perjalanan pemerintahanya dikarunia Alloh mempunyai keunggulan dalam sector pendidikan, pertanian, perdagangan dan jasa. Ini adalah potensi yang tidak kecil ditambah kesiapan sumber daya manusia yang terus dinamis. Paradigma yang mungkin bisa di terapkan oleh PCNU dalam pemberdayaan masyarakat di kabupaten ini adalah menempatkan masyarakat atau petani di tiap-tiap pekon atau ranting NU sebagai pusat pembangunan yang oleh Chambers dalam Anholt (2001) sering dikenal dengan sebutan “put the farmers first”. Pada sector ekonomi dan perdagangan perlu di usahakan dan di realisasikan produk-produk transaksi ( muamalah ) bersifat syar’i-semisal BMT, pendirian pasar syar’i, dan lain-lain.- berdasar kajian kitab-kitab klasik sebagai jawaban atau solusi bagi masyarakat yang resah akan transaksi ribawy (konvensional).
           Alhasil menyambut hari lahir Kabupaten Pringsewu pada bulan April ini, sebagai warga Pringsewu sekaligus warga NU menyadari bahwa perjalanan dalam membangun kabupaten ini masih panjang maka terdapat 4 (empat) landasan pergerakan NU untuk turut serta dalam upaya memberdayakan ummat dan masyarakat, yaitu : (1) asas kepeloporan; (2) asas kesinambungan; (3) asas penyesuaian dengan tuntutan zaman; (4) asas kemandirian. Empat point ini menggambarkan bahwa NU dalam tiap pergerakanya lebih mengedepankan kemaslahatan ummat disertai keteguhannya dalam memegang prinsip. Wallahu a’lam bi showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar