Oleh : Fafasheba
warga NU dan
Pengurus FORSILASPA
(Forum Silaturahmi Anak Sholeh Pagelaran).
Periode awal
menuju berdirinya organisasi nahdlatul ulama ialah masa-masa sulit penuh
konflik. Kondisi bangsa Indonesia yang masih terbelenggu penjajah hindia
belanda serta kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang lumpuh akibat
eksploitasi massif dan akut di semua sumber-sumber daya bangsa kita baik
potensi alam maupun manusianya menyebabkan
krisis multidimensi berkepanjangan melanda hampir seluruh bumi nusantara dan
tercatat sebagai imperialisasi terlama hingga tiga setengah abad sepanjang
sejarah bangsa Indonesia.
Disamping mendirikan
Nahdlatul wathon- para ulama pendiri Nahdlatul Ulama,- kurang lebih empat tahun
kemudian tepatnya pada tahun 1918 juga mendirikan Nahdlatut Tujjar dan
Tashwirul Afkar. Nahdlatut Tujjar berarti kebangkitan para saudagar santri
(muslim), sebagai gerakan ekonomi yang bertujuan menguatkan
sendi-sendi perekonomian rakyat dan berbagai bentuk usaha bersama seperti
koperasi dan pengembangan usaha kecil dan Tashwirul Afkar yang berarti
potret pemikiran adalah gerakan
pemikiran yang berfungsi sebagai laboratorium sosial untuk mengembangkan dan
menerjemahkan pemikiran-pemikiran Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
tuntutan zaman yang terus berubah. Ketiga organisasi inilah oleh para peneliti
sejarah merupakan embrio bagi lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (kebangkitan
para Ulama) pada tanggal 31 Januari 1926.(Suud Fuadi;2011).
Sehingga
bisa disimpulkan bahwa kelahiran NU tidak lepas dari tiga pilar penyangga
proses kelahiranya yaitu semangat kebangsaan dan nasionalisme (Nahdlatul
Wathon) semangat pemberdayaan dan kesejahteraan ekonomi (Nahdlatut Tujjar) juga
semangat pemikiran/kajian keilmuan dan pencerahan (Tashwirul Afkar).
NU
sebagai ormas keagamaan yang lebih tua 19 tahun dari usia Republik ini
sekaligus terbesar dari sekian banyak ormas keagamaan lainya, sepanjang sejarah
perjalananya turut terlibat aktif dalam
politik kenegaraan baik pada masa colonial belanda dengan semangat merebut
kemerdekaan, agresi dan masa-masa selanjutnya hingga kini terlihat, pada banyaknya tokoh-tokoh NU di negeri ini
yang duduk pada jabatan politik dari tingkat RT hingga setara menteri.
Jejak rekam NU pada ranah politik yang pada
muasalnya di khidmatkan untuk kemaslahatan nahdliyyiin dan organisai NU
ternyata belum menampakkan tanda-tanda perkembangan dan kemajuan apalagi kesejahteraan
bagi warganya. Tercatat berdasar survey LSI tahun 2004 jumlah penduduk miskin
adalah 37,2 juta jiwa yang sebagian besar adalah warga nahdliyin dari 35 persen
dari jumlah penduduk di Indonesia ini berarti warga kita masih menghuni
rangking teratas diantara penduduk miskin lainya di negeri ini. Imam Ibnul
Qoyyim Al Jauziyah mendefinisikan politik sebagai berikut : “Politik adalah
segala langkah (dengan kecerdasan) yang di maksudkan untuk mendekatkan
masyarakat pada kemaslahatan dan menjauhkanya dari kemudaratan hidupnya, baik
dengan mengacu pada dalil syara’ atau akal sehat saja.” Jika tujuan atau misi politik adalah keamanan
dan kesejahteraan, maka peran dan aktivitas yang seharusnya dilakukan adalah
usaha sadar dan terencana bagi pemenuhan kebutuhan pokok pada kelompok
sasararan ( nahdliyyin) yang bemanfaat. Usaha-usaha ini tentu melibatkan semua
elemen yang ada pada organisasi NU itu sendiri sekaligus sinergitas lintas
sector dan structural di luar NU. Niat politik yang sejatinya berfungsi untuk perkhidmatan
dan pelayanan ummat harus diupayakan dan diwujudkan agar jangan sampai
di“instankan “ dan di”praktiskan” hanya
sebagai alat merebut kekuasaan dan tujuan-tujuan pribadi bagi tercapainya
“karir” perseorangan maupun kelompok “parasit” yang sengaja menyusup dan
mendompleng nama besar organisasi yang berbasis massa terbesar di negeri ini.
Memang masalah kemiskinan dan mispemberdayaan ummat menjadi agenda besar bagi
organisasi NU yang tak kunjung usai dan belum berujung pada happy ending bagi
warga nahdliyin, hal ini tidak saja menjadi keprihatinan NU sebagai ormas namun
berbagai pihak baik pesantren, perguruan tinggi hingga pemerintah sendiri.
Adalah lebih urgen dan mendesak apabila NU kembali
memposisikan di garda paling depan dalam
usaha-usaha pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi ummat secara
terukur dan termenej dalam tiap program kerja dan perkhidmatan keorganisasianya
di bandingkan urusan-urusan politik semata. Perlu dikobarkan kembali semangat
“Nahdlatut Tujjar”- yang dulu oleh KH Wahab di gelorakan sebagai upaya memerangi
kemelaratan dan penindasan akses perekonomian- pada jama’ah dan jam’iyyah NU.
Semangat ini selaras dengan Statuen NU Fatsal 3 point e dan f yang berbunyi :
“e.
Memperhatikan hal-hal jang herhoeboengan dengan masdjid2, langgar2 dan
pondok2, begitoe djoega dengan hal ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang
jang fakir miskin.
pondok2, begitoe djoega dengan hal ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang
jang fakir miskin.
f. Mendirikan badan-badan oentoek
memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan
peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara’ Agama Islam.”
peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara’ Agama Islam.”
Dalam statuen di atas jelas mengamanatkan bahwa
program-program sosial dan pemberdayaan masyarakat adalah agenda fi’liyyah yang
harus secara konsisten diupayakan dan di wujudkan. Kegiatan berupa aksi sosial
dan pendampingan pada proses kemandirian ekonomi, pengentasan kemiskinan dan
segala daya upaya bagi pemberantasan kebodohan sekaligus upaya serius dalam
mengusahakan masyarakat dalam memperoleh akses biaya kesehatan terjangkau
merupakan tanggung jawab sekaligus kewajiban yang harus di tunaikan. Jika NU
focus pada pelayanan dan mampu berperan strategis pada upaya-upaya di atas insya
Alloh NU akan makin di cintai masyarakat bukan di tinggalkan. Pepatah arab
mengatakan : Himmatul Ulama arri’ayah : focus utama para ulama ialah
menggembala,melayani dan menjadi solusi bagi ummat.
Adalah tepat NU sebagai organisasi
kemasyarakatan, menjadikan pemberdayaan ummat dan masyarakat sebagai tema
sentral dalam upaya membangun ummat sekaligus masyarakat Indonesia pada
umumnya. Seiring kebijakan pembangunan
pemerintah yang tidak lagi sentralistik dan memberikan lingkup yang lebih luas dan lebih otonom pada pemerintah
daerah setempat. Maka PCNU kabupaten pringsewu di harapkan mampu mempelopori
sekaligus merintis harokah-harokah keummatan melalui banom ( badan otonom ):
ansor, fatayat, muslimat, IPNU dan IPPNU untuk bersinergi program dengan pihak
pemerintah. Kiprah pemberdayaan oleh NU harus dimulai dari arus bawah ( grass
root ) yang bercirikan semangat kemandirian dan disesuaikan pada potensi sumber
hayati setempat. Kabupaten Pringsewu yang merupakam salah satu DOB ( Daerah
Otonom Baru ) yang belum genap setahun perjalanan pemerintahanya dikarunia
Alloh mempunyai keunggulan dalam sector pendidikan, pertanian, perdagangan dan
jasa. Ini adalah potensi yang tidak kecil ditambah kesiapan sumber daya manusia
yang terus dinamis. Paradigma yang mungkin bisa di terapkan oleh PCNU dalam
pemberdayaan masyarakat di kabupaten ini adalah menempatkan masyarakat atau
petani di tiap-tiap pekon atau ranting NU sebagai pusat pembangunan yang oleh
Chambers dalam Anholt (2001) sering dikenal dengan sebutan “put the farmers
first”. Pada sector ekonomi dan perdagangan perlu di usahakan dan di
realisasikan produk-produk transaksi ( muamalah ) bersifat syar’i-semisal BMT,
pendirian pasar syar’i, dan lain-lain.- berdasar kajian kitab-kitab klasik
sebagai jawaban atau solusi bagi masyarakat yang resah akan transaksi ribawy
(konvensional).
Alhasil menyambut hari lahir Kabupaten
Pringsewu pada bulan April ini, sebagai warga Pringsewu sekaligus warga NU
menyadari bahwa perjalanan dalam membangun kabupaten ini masih panjang maka
terdapat 4 (empat) landasan pergerakan NU untuk turut serta dalam upaya
memberdayakan ummat dan masyarakat, yaitu : (1) asas kepeloporan; (2) asas
kesinambungan; (3) asas penyesuaian dengan tuntutan zaman; (4) asas kemandirian.
Empat point ini menggambarkan bahwa NU dalam tiap pergerakanya lebih mengedepankan
kemaslahatan ummat disertai keteguhannya dalam memegang prinsip. Wallahu a’lam bi showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar