SELAMAT DATANG DI LTN NU (Lajnah Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama) KABUPATEN PRINGSEWU

Jumat, 20 April 2012

MENGULAS MAKNA TASAWUF DARI ASPEK EKSOTERIS DAN ESOTERIS


Pengajian Tasawuf :
 Oleh : Dr. H. Khairuddin Tahmid, MH
Katib Syuriyah PWNU Lampung
 Secara terminologi, tasawuf dapat dipahami sebagai ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya, dari sifat-sifat yang buruk dengan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridloan Allah SWT dan meninggalkan segala macam apa saja yang dilarang-Nya menuju kepada perintah-Nya. Dengan  kata lain dapat dikatakan bahwa bertasawuf berarti menghiasi hidupnya dengan budi pekerti, barangsiapa yang memberikan budi pekerti atasmu, berarti ia telah memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima perintah untuk beramal, karena sejatinya mereka melakukan suluk dengan nur petunjuk Islam. Dan oleh karena itu para ahli zuhud yang jiwanya menerima perintah untuk melakukan bermacam-macam akhlaq terpuji, karena mereka telah melakukan suluk dengan nur petunjuk imannya.


Dari sini saja, sudah agak tergambar betapa rumit dan jlimetnya mengulas ta’rif (pengertian) tasawuf secara terminologi, atau gampangnya secara istilahan. Coba dibayangkan, pada sekitar abad ketiga hijriyah saja, atau antara tahun 200 sampai dengan 334 hijriyah, para ahli telah merumuskan lebih dari 40 ta’rif  tasawuf dengan berbagai macam pendekatan cara mengulasnya. Wal hasil, untuk mengambil ringkasnya, karena ruang dan kajian  tasawuf yang demikian kompleks dan abstrak, maka untuk lebih memudahkan ulasan dalam tulisan ini, walupun tasawuf dapat dilihat dari berbagai perspektif, tetapi tetap dalam perspektif terbatas agar lebih mudah dinikmati oleh pembaca setia Buletin Aswaja.

Pertama, merumuskan dan memahami tasawuf dari sudut yang paling mendasar, yaitu sudut perasaan manusia dengan fitrahnya. Perasaan fitrah pada setiap manusia, sesungguhnya telah lebih dahulu ada dibandingkan dengan lahirnya agama-agama di dunia ini. Dalam konteks ini tasawuf dilihat dari sudut pandang fitrah, diantaranya dirumuskan oleh Abu Turab al-Naskhsaty menyatakan bahwa tasawuf adalah orang yang tidak mau mengotori dirinya dengan sesuatu. Maksudnya, kekeruhan hati dan pikiran, cenderung lebih banyak disebabkan karena adanya kemauan, apalagi banyaknya permintaan, harapan, cita-cita yang bernilai duniawi. Dengan ungkapan yang kurang lebih senada dan bahkan lebih menyentuh pada relung hati yang dalam, dikutip dari pendapat Sekh Abu al-Husaian al-Nury yang menyatakan bahwa tasawauf adalah orang bersih dari kekeruhan pikiran dan penyakit batin, karena itu ia bersih dari pengaruh syahwat, hingga ia dapat memperoleh pada shaf yang pertama dan derajat yang ulya (maqomam mahmuda), yaitu derajat yang tinggi yang senantiasa diiringi dengan kebenaran. Tatkala ia meninggalkan selain Allah, maka jadilah ia untuk tidak dimiliki atau memiliki apa dan oleh siapapun. Ia  tidak peduli pada apapun yang dengannya dapat menghadirkan kekeruhan pikiran dan
dapat mengerecokin batinnya, ia hanya cenderung pada yang al-haq, dan oleh karenanya ia punya prinsip hidup, tidak khawatir, tidak cemas, tidak takut dibenci dan dijauhi oleh siapapun orang yang berada disekelilingnya, makanya ia mewanti-wanti kepada siapapun untuk tidak mengintervensi dirinya, karena yang penting baginya adalah mendapatkan ketenangan batin dan juga tetap mendapat kasih sayang dan kecintaan dari Allah SWT.

Kedua,  merumuskan dan memahami tasawuf dari sudut pendekatan kesungguhan amaliyah (al-Mujahadah), yaitu dengan memperindah diri melalui pengenalan dan pengamalan agama. Bertasawuf ditinjau dari sudut pendekatan al-Mujahadah, berarti berislam dengan cara total, memahami dan mengenal ajaran agama dan sekaligus bersungguh-sungguh mengamalkannya. Antara teori dan praktiknya klop. Tidak hanya paham teorinya saja, tetapi juga gethol atau bersungguh-sungguh mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, bertasawuf itu pada hakekatnya adalah dimensi yang dalam dan esoteris (batiniah) yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadits, prilaku Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sedangkan bersyariat adalah dimensi luar dan eksoteris (lahiriyah/syariat) ajaran Islam. Pemahaman, pengenalan dan pengamalan kedua dimensi itu, antara dimensi dalam/esoteris (batiniah) dan luar/eksoteris (lahiriyah/syariat) berjalan seiring sejalan secara seimbang agar pendekatan dirinya kepada Allah SWT menjadi total, sempurna lahir dan batin.

Penekanan pengahayatan pada salah satu dari kedua dimensi itu bertolak belakang dengan ajaran Islam yang mengedepankan keseimbangan dan keadilan. Misalnya, penekanan penghayatan pada dimensi eksoterik/lahiriyah akan membuat Islam kelihatan fiqh oreinted terlalu condong pada fiqh thok, yang bersifat formalistik prosedural dan kering nilai-nilai kerohanihan.

Demikian juga sebaliknya, jika penekanan dan penghayatan pada dimensi esoteris/batiniah saja, akan membuat orang yang beragama Islam dapat keluar dari batas kebenaran, karena tidak memperhatikan batas aturan yang telah ditentukan. Hubungan antara dimensi esoteris dan eksoteris oleh para pengamal tasawuf biasanya diumpamakan hubungan antara jasad dengan jiwa pada manusia. Jasad tidak dapat hidup tanpa jiwa. Sebaliknya, jiwa tidak dapat ditemukan wujudnya tanpa adanya jasad. Dengan menggunakan perumpamaan itu, maka dapat dikatakan syariat Islam akan menjadi hidup dengan jiwa tasawuf. Tasawuf akan meniupkan jiwa esoterisnya pada segenap ajaran Islam, baik aspek ritual maupun sosial.
Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghozali, yang dilahirkan pada tahun 451 H / 1059 M di Thus, Khurasan, sebuah Provinsi di Persia Utara, seorang tokoh sentral tasawuf amali berpendapat bahwa bertasawuf itu dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan ilmu pengetahuan dan dengan pendekatan amal perbuatan. Dari segi keilmuan, memang bertasawuf itu perlu dipelajari melalui guru atau mursyid yang mu’tabar (yang sudah diakui kebenarannya), sebagai dasar teoretis dan pengenalan istilah dan ajaran, seperti mengenai taubat, zikir, zuhud, wara’ dan lain sebagainya. Akan tetapi, masih menurut Imam al-Ghozali, sisi keilmuan tersebut merupakan bagian kecil dari tasawuf. Sedangkan bagian yang paling besar dan paling penting, yang dapat mengantar manusia sampai ke cahaya rohani (an-Nur), pencerahan Ilahi (al-Isyraq) dan keyakinan yang mantab (al-Yakin) adalah sisi amal perbuatan untuk mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Sejatinya, yang menjadi hakekat manusia adalah qalbu (hati) nya. Qalbu yang berwujud sebagai zat halus dan bersifat ilahiyah itu dapat menangkap hal-hal yang ghaib yang bersifat kerohaniahan. Menurut pandangan para pengamal tasawuf, qalbu ini yang sesungguhnya menjadi titik pusat perhatian Tuhan kepada manusia. Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk dan tubuhmu, tetapi Ia memandang hati dan perbuatanmu.” (HR. Muslim).

Dari hadits di atas, dapat dipahami lebih dalam bahwa sejatinya akal manusia dapat memahami adanya Tuhan dengan rasionalitasnya, sedangkan qalbu manusia dapat merasakan kehadiran Tuhan, bahkan merasakan keintiman dengan-Nya. Demikian juga, di dalam al-Qur’an secara spesifik menyebutkan bahwa “Allah SWT adalah cahaya langit dan bumi.”  (Qur’an, Surat al-Nur : 35). Artinya, Allah SWT sebagai pemberi cahaya kepada alam semesta, juga memberikan cahaya kepada manusia, yaitu pada hati nuraninya.

Hati nurani yang berada pada manusia memiliki cahaya yang dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Dengan demikian, baik dan buruknya perilaku manusia tergantung pada hatinya. Hati yang bening membawa pada perdamain dan ketentraman serta memancarkan sikap dan tindakan yang menyejukkan sesama dan lingkungan sekitarnya. Sementara, hati yang kotor membawa kegalauan, keresahan, membuat hati dag dig dug dan kekacauan, yang ujung-ujungnya dapat berdampak pada ketidaktentraman, bahkan dapat lebih dari pada itu, berupa kehancuran yang merugikan diri sendiri dan orang-orang yang ada disekitarnya. Hati yang bening, bersih, dan suci akan terwujud pada manusia, bila hubungan antara dimensi esoteris dan eksoteris terjalin dengan harmonis dan intim, baik dalam konteks hubungan vertikal dengan Tuhan, maupun dalam hubungan herizontal dengan sesama manusia. (Bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar