Pengajian Tasawuf :
Oleh
: Dr. H. Khairuddin Tahmid, MH
Katib
Syuriyah PWNU Lampung
Secara terminologi, tasawuf
dapat dipahami sebagai ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal kebaikan
dan keburukan jiwa, cara membersihkannya, dari sifat-sifat yang buruk dengan
mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah
menuju keridloan Allah SWT dan meninggalkan segala macam apa saja yang
dilarang-Nya menuju kepada perintah-Nya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa bertasawuf
berarti menghiasi hidupnya dengan budi pekerti, barangsiapa yang memberikan
budi pekerti atasmu, berarti ia telah memberikan bekal atas dirimu dalam
tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima perintah untuk beramal, karena
sejatinya mereka melakukan suluk dengan nur petunjuk Islam. Dan oleh karena itu
para ahli zuhud yang jiwanya menerima perintah untuk melakukan bermacam-macam
akhlaq terpuji, karena mereka telah melakukan suluk dengan nur petunjuk imannya.
Dari sini saja, sudah agak
tergambar betapa rumit dan jlimetnya mengulas ta’rif (pengertian) tasawuf
secara terminologi, atau gampangnya secara istilahan. Coba dibayangkan, pada
sekitar abad ketiga hijriyah saja, atau antara tahun 200 sampai dengan 334
hijriyah, para ahli telah merumuskan lebih dari 40 ta’rif tasawuf dengan berbagai macam pendekatan cara
mengulasnya. Wal hasil, untuk mengambil ringkasnya, karena ruang dan kajian tasawuf yang demikian kompleks dan abstrak,
maka untuk lebih memudahkan ulasan dalam tulisan ini, walupun tasawuf dapat
dilihat dari berbagai perspektif, tetapi tetap dalam perspektif terbatas agar
lebih mudah dinikmati oleh pembaca setia Buletin Aswaja.
Pertama, merumuskan dan memahami
tasawuf dari sudut yang paling mendasar, yaitu sudut perasaan manusia dengan
fitrahnya. Perasaan fitrah pada setiap manusia, sesungguhnya telah lebih dahulu
ada dibandingkan dengan lahirnya agama-agama di dunia ini. Dalam konteks ini
tasawuf dilihat dari sudut pandang fitrah, diantaranya dirumuskan oleh Abu
Turab al-Naskhsaty menyatakan bahwa tasawuf adalah orang yang tidak mau
mengotori dirinya dengan sesuatu. Maksudnya, kekeruhan hati dan pikiran,
cenderung lebih banyak disebabkan karena adanya kemauan, apalagi banyaknya
permintaan, harapan, cita-cita yang bernilai duniawi. Dengan ungkapan yang kurang
lebih senada dan bahkan lebih menyentuh pada relung hati yang dalam, dikutip
dari pendapat Sekh Abu al-Husaian al-Nury yang menyatakan bahwa tasawauf adalah
orang bersih dari kekeruhan pikiran dan penyakit batin, karena itu ia bersih
dari pengaruh syahwat, hingga ia dapat memperoleh pada shaf yang pertama dan
derajat yang ulya (maqomam mahmuda),
yaitu derajat yang tinggi yang senantiasa diiringi dengan kebenaran. Tatkala ia
meninggalkan selain Allah, maka jadilah ia untuk tidak dimiliki atau memiliki
apa dan oleh siapapun. Ia tidak peduli
pada apapun yang dengannya dapat menghadirkan kekeruhan pikiran dan
dapat
mengerecokin batinnya, ia hanya cenderung pada yang al-haq, dan oleh karenanya ia punya prinsip hidup, tidak khawatir,
tidak cemas, tidak takut dibenci dan dijauhi oleh siapapun orang yang berada
disekelilingnya, makanya ia mewanti-wanti kepada siapapun untuk tidak
mengintervensi dirinya, karena yang penting baginya adalah mendapatkan ketenangan
batin dan juga tetap mendapat kasih sayang dan kecintaan dari Allah SWT.
Kedua, merumuskan dan memahami tasawuf dari sudut
pendekatan kesungguhan amaliyah (al-Mujahadah),
yaitu dengan memperindah diri melalui pengenalan dan pengamalan agama. Bertasawuf
ditinjau dari sudut pendekatan al-Mujahadah, berarti berislam dengan cara
total, memahami dan mengenal ajaran agama dan sekaligus bersungguh-sungguh
mengamalkannya. Antara teori dan praktiknya klop. Tidak hanya paham teorinya
saja, tetapi juga gethol atau
bersungguh-sungguh mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Artinya,
bertasawuf itu pada hakekatnya adalah dimensi yang dalam dan esoteris (batiniah) yang bersumber dari
al-Qur’an, al-Hadits, prilaku Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sedangkan
bersyariat adalah dimensi luar dan eksoteris
(lahiriyah/syariat) ajaran Islam. Pemahaman, pengenalan dan pengamalan kedua
dimensi itu, antara dimensi dalam/esoteris
(batiniah) dan luar/eksoteris
(lahiriyah/syariat) berjalan seiring sejalan secara seimbang agar pendekatan
dirinya kepada Allah SWT menjadi total, sempurna lahir dan batin.
Penekanan pengahayatan pada
salah satu dari kedua dimensi itu bertolak belakang dengan ajaran Islam yang
mengedepankan keseimbangan dan keadilan. Misalnya, penekanan penghayatan pada
dimensi eksoterik/lahiriyah akan
membuat Islam kelihatan fiqh oreinted
terlalu condong pada fiqh thok, yang bersifat formalistik prosedural dan kering
nilai-nilai kerohanihan.
Demikian juga sebaliknya, jika
penekanan dan penghayatan pada dimensi esoteris/batiniah
saja, akan membuat orang yang beragama Islam dapat keluar dari batas kebenaran,
karena tidak memperhatikan batas aturan yang telah ditentukan. Hubungan antara
dimensi esoteris dan eksoteris oleh para pengamal tasawuf
biasanya diumpamakan hubungan antara jasad dengan jiwa pada manusia. Jasad
tidak dapat hidup tanpa jiwa. Sebaliknya, jiwa tidak dapat ditemukan wujudnya
tanpa adanya jasad. Dengan menggunakan perumpamaan itu, maka dapat dikatakan
syariat Islam akan menjadi hidup dengan jiwa tasawuf. Tasawuf akan meniupkan
jiwa esoterisnya pada segenap ajaran Islam, baik aspek ritual maupun sosial.
Hujjatul Islam Abu Hamid
Muhammad al-Ghozali, yang dilahirkan pada tahun 451 H / 1059 M di Thus,
Khurasan, sebuah Provinsi di Persia Utara, seorang tokoh sentral tasawuf amali
berpendapat bahwa bertasawuf itu dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu
pendekatan ilmu pengetahuan dan dengan pendekatan amal perbuatan. Dari segi
keilmuan, memang bertasawuf itu perlu dipelajari melalui guru atau mursyid yang
mu’tabar (yang sudah diakui kebenarannya), sebagai dasar teoretis dan
pengenalan istilah dan ajaran, seperti mengenai taubat, zikir, zuhud, wara’ dan
lain sebagainya. Akan tetapi, masih menurut Imam al-Ghozali, sisi keilmuan
tersebut merupakan bagian kecil dari tasawuf. Sedangkan bagian yang paling
besar dan paling penting, yang dapat mengantar manusia sampai ke cahaya rohani (an-Nur), pencerahan Ilahi (al-Isyraq) dan keyakinan yang mantab (al-Yakin) adalah sisi amal perbuatan
untuk mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Sejatinya, yang menjadi hakekat
manusia adalah qalbu (hati) nya.
Qalbu yang berwujud sebagai zat halus dan bersifat ilahiyah itu dapat menangkap
hal-hal yang ghaib yang bersifat kerohaniahan. Menurut pandangan para pengamal
tasawuf, qalbu ini yang sesungguhnya menjadi titik pusat perhatian Tuhan kepada
manusia. Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya
Allah tidak memandang bentuk dan tubuhmu, tetapi Ia memandang hati dan
perbuatanmu.” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, dapat
dipahami lebih dalam bahwa sejatinya akal manusia dapat memahami adanya Tuhan
dengan rasionalitasnya, sedangkan qalbu manusia dapat merasakan kehadiran
Tuhan, bahkan merasakan keintiman dengan-Nya. Demikian juga, di dalam al-Qur’an
secara spesifik menyebutkan bahwa “Allah
SWT adalah cahaya langit dan bumi.” (Qur’an, Surat al-Nur : 35). Artinya, Allah
SWT sebagai pemberi cahaya kepada alam semesta, juga memberikan cahaya kepada
manusia, yaitu pada hati nuraninya.
Hati nurani yang berada pada
manusia memiliki cahaya yang dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Dengan
demikian, baik dan buruknya perilaku manusia tergantung pada hatinya. Hati yang
bening membawa pada perdamain dan ketentraman serta memancarkan sikap dan
tindakan yang menyejukkan sesama dan lingkungan sekitarnya. Sementara, hati
yang kotor membawa kegalauan, keresahan, membuat hati dag dig dug dan
kekacauan, yang ujung-ujungnya dapat berdampak pada ketidaktentraman, bahkan
dapat lebih dari pada itu, berupa kehancuran yang merugikan diri sendiri dan
orang-orang yang ada disekitarnya. Hati yang bening, bersih, dan suci akan
terwujud pada manusia, bila hubungan antara dimensi esoteris dan eksoteris terjalin
dengan harmonis dan intim, baik dalam konteks hubungan vertikal dengan Tuhan, maupun
dalam hubungan herizontal dengan sesama manusia. (Bersambung).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar