Oleh : KH. DR. Khairuddin Tahmid
Katib Syuriyah PWNU Provinsi Lampung
Kegiatan itulah yang
kemudian digeluti oleh para da’i dan da’iyah secara tradisional
secara lisan, dalam bentuk ceramah dan pengajian. Para juru dakwah ini berpindah dari suatu majelis ke majelis lain, dari
suatu mimbar ke mimbar lain. Bila dipanggil untuk berdakwah, yang terbesit dalam benak adalah
ceramah agama. Maka dakwah muncul dengan makna sempit dan terbatas, yakni hanya
ceramah melalui mimbar. Tak pelak lagi perkembangan masyarakat yang semakin
meningkat, tuntutan yang sudah semakin beragam, membuat dakwah tidak bisa lagi
dilakukan secara tradisional. Dakwah sekarang sudah berkembang menjadi satu
profesi, yang menuntut skill (kemampuan), planning (Perencanaan) dan
manajemen yang handal.
Untuk itu diperlukan sekelompok
orang yang secara terus menerus mengkaji, meneliti dan meningkatkan aktivitas dakwah
secara professional. Nahdlatul Ulama yang termasuk organisasi dakwah menyadari bahwa
tidak akan mampu menggarap semua bidang, saluran dan segi-segi dakwah itu
keseluruhannya. Nahdlatul Ulama memilih beberapa bidang dan saluran itu
dijadikan sebagai program permanent dan garapan rutinnya. Cita-cita memang harus dipasang setinggi-tingginya,
tapi program perjuangan harus dirumuskan diatas bumi kenyataan.
Memahami esensi dari makna dakwah sering dipahami sebagai upaya untuk
memberikan solusi Islam terhadap berbagai masalah dalam kehidupan. Masalah
kehidupan tersebut mencakup seluruh aspek, seperti aspek ekonomi, sosial,
budaya, hukum, politik, sains, teknologi, dsb. Untuk itu dakwah haruslah
dikemas dengan cara dan metode yang tepat dan pas. Dakwah harus tampil secara
actual, factual dan kontekstual. Actual dalam arti memecahkan masalah yang
kekinian dan hangat di tengah masyarakat. Factual dalam arti kongkrit dan
nyata, sedangkan kontektual dalam arti relevan dan menyangkut problema yang
sedang dihadapi oleh masyarakat.
Oleh sebab itu, memilih cara dan
metode yang tepat, agar dakwah menjadi actual, factual dan kontekstual, menjadi
bahagian strategis dari kegiatan dakwah itu sendiri. Tanpa sebuah metode maka aktivitas
dakwah akan berputar dalam pemecahan problema tanpa solusi dan tidak jelas
ujung pangkal penyelesaiannya. Sebagai
upaya dalam memberikan solusi Islam terhadap berbagai masalah kehidupan, dakwah
dijelaskan dengan berbagai macam definisi. Syekh Al-Babiy al-Khuli mendefinisikan dakwah dengan “upaya memindahkan
situasi manusia kepada situasi yang lebih baik.” Pemindahan situasi ini
mengandung makna yang sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia
sebagai disebut di atas. Pemindahan dari situasi kebodohan kepada situasi
keilmuan, dari situasi kemiskinan kepada situasi kehidupan yang layak, dari
situasi keterbelakangan kepada situasi kemajuan. Dakwah merambah pada upaya
bagaimana menciptakan kehidupan sejahtera, aman dan damai dengan mengembangkan
kreativitas individu dan masyarakat. Dengan kata lain dakwah pada hakikatnya
adalah proses pemberdayaan.
Sementara
itu Syekh Ali Mahfudz memberikan definisi tentang dakwah: “Mengajak manusia kepada kebaikan dan
petunjuk, dan menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat munkar untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat”.
Dari
ungkapan di atas dapatlah dipahami bahwa dakwah pada hakikatnya adalah segala
aktivitas dan kegiatan yang mengajak orang untuk berubah dari satu situasi yang
mengandung nilai kehidupan yang bukan Islami kepada nilai kehidupan Islami.
Aktivitas dan kegiatan tersebut dilakukan dengan mengajak, mendorong, menyeru,
tanpa tekanan, paksaan dan provokasi, dan bukan pula dengan bujukan dan rayuan
pemberian sembako, dsb.
Sejalan
dengan pengertian dakwah ini, maka metode atau cara yang dilakukan dalam
mengajak tersebut haruslah sesuai pula dengan materi dan tujuan ke mana ajakan
tersebut ditujukan. Pemakaian metode atau cara yang benar merupakan sebahagian
dari keberhasilan dari dakwah itu sendiri. Sebaliknya, bila metode dan cara
yang dipergunakan dalam menyampaikan sesuatu tidak sesuai dan tidak pas, akan
mengakibatkan hal yang tidak diharapkan. Literatur Ilmu Dakwah dalam
membicarakan metode dakwah, selalu merujuk firman Allah SWT. Dalam Al-Qur’an
surah An-Nahl ayat 125 : “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu, dengan cara
hikmah, pelajaran yang baik dan berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang
baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”.
Ayat
ini menjelaskan, sekurang-kurangnya ada tiga cara atau metode dalam dakwah,
yakni metode hikmah, metode mau’izhah dan metode mujadalah. Ketiga
metode dapat dipergunakan sesuai dengan objek yang dihadapi oleh seorang da’i
atau da’iyah di medan dakwahnya. Metode bi-al-Hikmah mengandung
pengertian yang luas. Kata al-hikmah sendiri di dalam Al-Qur’an dalam
berbagai bentuk ditemukan sebanyak 208
kali. Secara harfiyah kata tersebut mengandung makna kebijaksanaan. Bila
dilihat dari sudut pemakaiannya, kata tersebut mengandung arti yang
bermacam-macam, seperti:
a.
Kenabian (Nubuwwah).
b.
Pengetahuan tentang Al-Qur’an.
c.
Kebijaksanaan pembicaraan dan
perbuatan.
d.
Pengetahuan tentang hakikat
kebenaran dan perwujudannya dalam kehidupan.
e.
Ilmu yang bermanfaat, ilmu amaliyah
dan aktivitas yang membawa kepada kemaslahatan ummat.
f.
Meletakkan suatu urusan pada
tempatnya yang benar.
g.
Mengetahui kebenaran dan beramal
dengan kebenaran tersebut, pengetahuan yang lurus dalam pembicaraan dan amal.
h.
Kondisi psikologis seperti
ketundukan, kepasrahan dan takut kepada Allah.
i.
Sunnah Nabi.
j.
Posisi wara terhadap agama Allah.
k.
Sikap adil sehingga pemikiran dapat
menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Syekh Muhammad Abduh memberikan definisi hikmah tersebut sbb : “Hikmah
adalah ilmu yang sahih (benar dan sehat) yang menggerakkan kemauan untuk
melakukan suatu perbuatan yang bermanfaat/berguna”. Ketika menyimpulkan
pemaknaan terhadap hikmah ini Moh. Natsir
mengatakan bahwa hikmah lebih dari semata-mata ilmu. Ia adalah ilmu yang sehat,
yang mudah dicernakan; ilmu yang berpadu dengan rasa perisa, sehingga menjadi
daya penggerak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, berguna. Kalau dibawa
ke bidang dakwah, untuk melakukan sesuatu tindakan yang berguna dan efektif.
Metode
Mau’izhah Hasanah mengandung arti cara memberi pengajaran yang
baik. Kata Mau’izhah sendiri dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya
terulang sebanyak 25 kali. Bila diperhatikan pemaknaan Mau’izhah hasanah
dalam ayat-ayat Al-Qur’an, maka tekanan tertuju kepada peringatan yang baik dan
dapat menyentuh hati sanubari seseorang, sehingga pada akhirnya audiens
terdorong untuk berbuat baik. Metode ini terdiri dari berbagai bentuk, yakni: Nasihat,
Tabsyir Wa Tanzir dan Wasiat.
Metode
Mujadalah mengandung arti pembicaraan yang dialogis.
Mujadalah bukanlah pembicaraan yang monolog atau monoton. Di dalam al-Qur’an
kata Mujadalah dalam berbagai bentuknya ditemukan dalam 29 kali. Istilah
tersebut mengandung arti pembicaraan atau diskusi yang dilandasi pada argumen
yang berbeda dengan mempergunakan dalil yang utuh. Di dalam pembicaraan
dialogis terbersit semangat tidak ada yang lebih dominan antara yang satu
dengan yang lain. Dalam kerangka dakwah akan dituntut semangat menyodorkan kebenaran
dan panggilan Islam dalam suasana kesetaraan. Metode ini muncul dalam bentuk :
a). As’ilah wa ajwibah (Tanya Jawab) dan b). Al-Hiwar (diskusi).
Sebagai catatan akhir dapat dikemukakan
bahwa semenjak Islam masuk ke Indonesia, perkembangan Islam selalu mengalami
pasang surut. Hal ini tidak lepas dari geo-politik masyarakat Indonesia yang selalu
mengalami dinamika, seiring dengan perkembangan zaman dan waktu. Sejarah membuktikan
bahwa Islam berkembang pesat di Indonesia melalui jalan dakwah yang di perankan
oleh ulama ahlussunnah waljamaah,
yang gerakannya dimotori oleh para auliya, atau lebih populer disebut wali
songo. Merekalah pengembang ideologi Islam moderat (tawasut), toleran (tasamuh)dan
berimbang (tawazun) didalam menyikapi
maslah lokalitas yang beriringan dalam proses
penyebaran Islam.
Strategi
dakwah yang dikembangkan para wali songo dianggap paling berhasil dalam sejarah
dakwah di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan luas cakupan wilayah yang telah
mereka Islamkan serta pengaruh yang ditimbulkannya dalam perkembangan sosial,
budaya, ekonomi, dan politik masyarakat Indonesia. Dari sinilah terlihat jelas
keberanian Nahdlatul Ulama untuk menyatakan dirinya sebagai pewaris dan penerus
panji-panji Islam garis wali songo, yang eksistensinya tidak luput dari
berbagai persoalan yang mengitarinya.
Bangunan
konsep Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah teologi humanisme yang mengembangkan
peradaban Islam rahmatan lil ‘alamin. Hal ini sesuai dengan prinsip dakwah
Islam yang semestinya dilakukan secara hikmah yang menggabungkan antara
mau’idzoh hasanah dengan uswatun hasanah, agar nilai-nilai Islam dapat
diaplikasikan dalam kehidupan manusia seluruh alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar