Oleh
: Abi Queen*
Khoirukum
man ta’allam al qur’an wa ‘allamah….
(The
best mankind is those who learns and teaches Qur’an)
“sebaik-baik
kalian ialah yang mempelajari Al Qur’an
dan mengajarkanya.”
Rosulullah SAW dalam sabda beliau di atas, mengisyaratkan akan
keistimewaan dan kedudukan yang mulia atas orang-orang yang mau mendedikasikan
waktu dan umurnya untuk mempelajari ataupun mengajarkan AlQur’an diantara ummat
lainya. Dalam hadis di atas terdapat beberapa hal yang menarik untuk kita petik
hikmahnya.
Pertama, dalam hadits tersebut orang yang mempelajari Al Qur’an disebut nabi sebagai sebaik-baik ummat. Hal ini mengandung maksud bahwa mempelajari atau mengkaji/mengaji al Quran merupakan bentuk amaliah sholihah, mempelajari dalam hal ini tentu tak sesederhana hanya cara baca dan tulis Al Qur’an, namun mengandung implikasi berikhtiar, mengeksplorasi kandungan ilmu dan hikmah yang maha melimpah seperti yang telah di ilustrasikan dalam Al Qur’an sendiri dalam surat Al Kahfi,109. yang artinya : “katakanlah (Muhammad), “seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai( penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”
Akan keluasan kandungan Al Qur’an ini maka tepat sekali jika mempelajari
Al Quran adalah proyek besar yang tiada batas waktu dan usia, sejak usia dini
hingga lansia perintah mempelajari Al Quran hendaknya senantiasa lestari. Sehingga
wahyu pertama turun saat itu adalah perintah untuk membaca “iqro’!”. Kata iqro’ terambil dari kata qoro’a pada mulanya berarti ‘menghimpun’. Kata iqro’ yang di
terjemahkan dengan ‘bacalah’ tidak sekedar membaca teks tertulis atau
sesuatu yang diucapkan agar terdengar oleh orang lain, karena dalam beberapa
kamus terdapat beberapa arti antara lain, menyampaikan,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya, yang
kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat ‘menghimpun’yang merupakan arti
akar kata tersebut (Quraish shihab;2007).
Kedua, selanjutnya nabi
menyebutkan orang yang paling baik ialah “man
‘allamahu”(orang yang mengajari/mengajarkan) Al Qur’an. Banyak istilah yang
dapat disematkan pada kategori ini yang secara sederhana adalah guru ngaji. Guru
ngaji dalam pengertian praktis adalah beliau-beliau yang pada ‘fitrahnya’
menjadi peletak bagi pondasi awal pembelajaran dan pemahaman Al Qur’an
sekaligus pintu masuk utama bagi santri dalam proses pengembangan nilai-nilai
ahlaq/moralitas berbasis islam semenjak usia dini. Rosululloh SAW bersabda, “sesungguhnya aku di utus sebagai pengajar.”
Dalam hadist lain Rosululloh menegaskan, “Barang
siapa mendidik anak kecil hingga ia mampu mengucapkan kalimah laa ilaha illa
Allah, maka Allah tidak akan menghisabnya kelak.”
Tak sekedar sebagai penyampai ilmu yang di ajarkan kepada si
murid/santri, peran dan kontribusi dari guru ngaji sebagai penerus risalah
da’wah secara sosial kemasyarakatan di akui juga aktif melakukan kontrol sosial
dan pelopor bagi pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Dari sini banyak ulama
yang kemudian merumuskan kriteria guru, baik dari sikap maupun watak salah
satunya Imam Al Ghazali merumuskanya yang termaktub dalam ‘Ihya’ Ulum ad din’ diantaranya; mengajar dan membimbing adalah
tugas seorang guru hingga sifat pokok yang harus dimiliki guru adalah kasih
sayang dan lemah lembut. Karenanya, guru hendaknya berperan sebagai ayah atas
anak didiknya, bahkan hak guru atas anak didiknya lebih daripada hak ayah atas
anaknya. (KH. Sahal Mahfud;1994).
Guru ngaji dan resistensi sosial
Demikian penting dan strategis peran guru ngaji ditengah-tengah
masyarakat menandakan kebutuhan akan guru ngaji adalah keniscayaan yang tidak
bisa dipungkiri. Masyarakat dalam hal ini umat islam percaya bahwa dengan memasrahkan
pendidikan keagamaan untuk anak-anak mereka sekaligus pendidikan moral/ahlaq
islami kepada guru ngaji, orang tua sedikit banyak terbantu dalam mendidik dan
mengawasi perilaku anak sehari-sehari. Dibandingkan apabila orang tua yang
hanya menitipkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah formal yang hanya
menyediakan porsi pendidikan budi pekerti dan agama sangat terbatas. Maka wajar
jika masih ada orang tua yang merasa khawatir akan nasib ‘pola prilaku’ si anak
di kemudian hari. Artinya disadari atau tidak,
terbukti bahwa guru ngaji hingga saat ini merupakan variable penting
dalam meminimalisir dampak-dampak negatif dari arus informasi dan globalisasi. Minimal
sebagai penjaga ‘system nilai’ dilingkungan
masing-masing. Disinilah sebenarnya letak strategis peran guru ngaji dan
lembaga pendidikan keagamaan pada umumnya.
Sebagai bagian dari warga masyarakat, guru ngaji pada satu sisi
dihadapkan pada keharusan mengabdikan keilmuanya untuk semata-mata di baktikan
pada ummat dan beharap ridlo Alloh, mengajarkan
Al-Quran dan menda’wahkanya merupakan kewajiban dan panggilan jiwa yang harus
ditunaikan. Disisi lain mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga
adalah persoalan harian yang tidak mungkin di tunda-tunda. Keadaan demikian menuntut guru ngaji memposisikan diri
berprofesi laiknya anggota masyarakat lainya seperti menjadi petani, berdagang,
bahkan buruh serabutan yang pada situasi tertentu (misal: paceklik, kesulitan
ekonomi dll) sedikit mempengaruhi intensitas
peranya dan berdampak pada kualitas pelayanan dan profesionalitas. Kondisi
demikian bukan berarti guru ngaji telah abai atau tidak peduli lagi akan
tugasnya namun lebih pada upaya menjaga ‘stabilitas’ antara tugas ukhrowi (
mengajar ngaji ) dan tuntutan duniyawi (menafkahi anak istri).
Upaya menjaga ‘stabilitas’ dalam hal ini dilakukan berdasarkan asumsi
berikut : pertama, watak dan mental
guru ngaji yang terbiasa mandiri dan
mengedepankan nilai-nilai zuhud dan ikhlas tanpa meminta bayaran dari apa yang
diajarkanya. kedua, keadaan ekonomi sebagian besar guru ngaji yang
masih minus dan belum mapan. Ketiga,
sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang ikut andil dalam proses
mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus penjaga sistem nilai peradaban,
pemerintah kurang akomodatif dalam menyerap realitas keberadaan guru ngaji.
Potret guru ngaji yang demikian masih ditambah lagi penghargaan dan kepedulian
sebagian anggota masyarakat dalam hal ini orang tua santri masih minim dan
cendrung abai. Semisal masih terdapat guru ngaji yang kesulitan dalam membeli
alat tulis dalam mengajar, ketiadaan dana
membayar rekening listrik untuk penerangan ruang belajar belum lagi
sikap orang tua santri yang diskriminatif dalam cara pandang pola pendidikan
formal non formal (madrasah, pesantren,TPQ dll). Kondisi ini diperparah oleh
sikap pemerintah sendiri yang hingga saat ini belum mampu menetapkan regulasi
yang berpihak dan akomodatif pada persoalan guru ngaji. Padahal secara implicit
Undang-Undang tentang Pendiddikan Nasional (UUPN) tahun 1989 pasal 47
mmenyebutkan, ”Masyarakat sebagai mitra
pemerintah berkesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pendidikan
nasional”. Atau PP No 55 tahun 2007 tentang keagamaan yang seolah mandek di
meja menteri tanpa realisasi.
Opini penulis ini tidak dimaksudkan sebagai upaya menggiring masyarakat
atau orang tua untuk menghargai guru ngaji dengan “membayar” sejumlah uang
tertentu atau pemerintah dengan gaji dan insentif, namun lebih pada upaya
membangkitkan kesadaran diantara sesama warga bangsa untuk bersama-sama
mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab
masing-masing. Memang benar bahwa
jabatan guru ngaji adalah ‘jabatan’ sosial yang diberikan oleh
masyarakat itu sendiri bukan oleh pemerintah atau pejabat eselon tertentu
sehingga guru ngaji di tengah masyarakat lingkungan sekitar dijadikan sebagai tokoh
informal bukan formal. Dan peran serta di masyarakat ini telah ada bahkan jauh
sebelum negeri ini berdiri.
Melestarikan Guru ngaji
Beberapa pemikiran mengenai guru ngaji ini di maksudkan sebagai bahan
renungan dan i’tibar kepada semua pihak dan elemen masyarakat bahwa kepedulian
dan penghargaan bagi orang-orang yang berjasa dalam mencerdaskan bangsa dan
sumbangsihnya pada keelokan peradaban adalah niscaya. Tokoh-tokoh besar negeri
ini lahir menjadi berpengaruh mulai dari pahlawan negara sampai ulama-ulamanya
adalah karena wasilah dan keikhlasan para guru-guru ngajinya. Mungkin bentuk
perhatian dan penghargaan pada guru ngaji tidak sesederhana berupa materi dan
gelimang fasilitas semata namun tindakan nyata yang bersifat immateri semisal
penciptaan kondisi sosial yang kondusif bagi penghidupan mereka agar terwujud
sikap dan ghiroh memerangi jahalah senantiasa
lestari.
Maka tidak heran jika muncul di masyarakat kita beberapa paguyuban dan
forum kebersamaan dan persaudaraan yang di dalamnya adalah para guru ngaji dari
berbagai daerah semisal PERGUJI, YGNI, PERSADA AGUNG, di pringsewu sendiri ada PESARUNGSEWU
dan lain-lain. Kesemuanya terlepas dari ideologi dan kepentingan yang
membingkainya kita patut mengapreasi akan keseriusan masing-masing organisasi
tersebut untuk senantiasa menyadarkan para anggotanya bahwa tujuan hakiki dari
kiprah dan perjuangan guru ngaji tiada lain libtigho’i
mardhotillah (menggapai ridlo Alloh) nilai-nilai seperti zuhud, qonaah dan
ikhlas harus tetap lestari dan terjaga. Jangan sampai punah ataupun tergadai terkikis
oleh kepentingan praktis ataupun kenikmatan instan sesaat. Inilah yang harus
menjadi landasan pokok organisai/komunitas apapun yang mengatasnamakan guru
ngaji.
Segala bentuk bantuan atau insentif mungkin saja positif dan
menggembirakan, tetapi harus juga dilihat dampak negatif yang akan beresiko
mengganggu “stabilitas” mental guru ngaji itu sendiri semisal niatan guru ngaji
yang semula libtigho’i mardhotillah namun
karena menerima bantuan yang sifatnya tidak memberdayakan mereka, maka akan
timbul dalam hati “ketergantungan” untuk mendapatkan bantuan kembali sehingga
memposisikan guru ngaji sebagai “tangan yang dibawah.”
Dengan demikian kiranya PESARUNGSEWU (PErSAtuan guRU NGaji pringSEWU)
dapat memaksimalkan perannya sebagai wadah silaturahmi dan komunikasi antar
guru ngaji yang senantiasa menjunjung nilai-nilai ahli sunnah wal jama’ah serta
berperan aktif bagi pemberdayaan masyarakat dan ummat demi terwujudnya masyararakat
pringsewu yang sa’adat al daroin,
bahagia duniawi dan ukhrowi. Insya Alloh.
Wallahu a’alam bi showab.
*) adalah santri
Pondok Pesantren Nurul Ummah tinggal di Gemahripah Pagelaran.
habis manizz sepah di lempar,,oh guru ngajiku sayang guruku malang
BalasHapusSemoga bisa menjadi perhatian kita semua....
BalasHapusassalamualaikum wr wb... Alhamdulillah blog ini telah trbit yg tentu telah dinanti oleh nahliyyin sebgai wadah aspirasi ummat..selamat x3...
BalasHapussemoga bisa istiqomah n slalu update...
buat smua kru di ltnnu kab pringsewu moga tetep kompak n makin profesional dalam penerbitan bulletin maupun blognya,,, so be success!! ok!
jazaakumullah ... amiin.
terima kasih.... kami selalu meminta dukungan semua. kami akan terus ada karena dukungan anda semua. Amin
BalasHapusSemua guru ngaji harus sabar dengan keadaan yang saat ini menimpa, keprihatinan yang mendalam bukan hanya anda yang merasakan, tetapi semua orang tua disetiap lapisan masyarakat juga ikut perihatin..
BalasHapus